Kamis, 15 Januari 2015

Resep Menjadi Pintar

Saya menemukan resep untuk menjadi pintar dari sebuah buku kuno di perpustakaan. Sebuah resep yang mengingatkan saya pada suatu hal.

Anggap saja ceritaku ini benar. Aku sedang berada di masa depan sekarang. Kalian tidak perlu bertanya bagaimana aku bisa sampai ke sini atau apa diriku menggunakan pintu ajaib Doraemon atau tidak. Yang pasti sekarang aku sedang berada di masa depan, tepatnya di tahun 2064. 

Umurku masih tetap sama dengan umurku sebelum pindah ke masa depan. Kalian tidak perlu tau siapa aku, karena kalian cukup tau aku dengan sebutan “aku”. Tugasku di masa depan hanya satu, yakni untuk mencari informasi pendidikan di negeri ini lewat teman masa laluku. Lagi-lagi kalian tidak perlu menganggap hebat atau terlalu heboh dengan apa yang aku lakukan. Karena sejatinya suatu saat hal ini juga akan bisa kalian lakukan. Mungkin dengan cara yang lebih hebat dan lebih jauh lagi masanya.

Beruntung di masa depan ini aku cepat menemukan ilmuwan yang juga sebenarnya teman masa laluku. Aku lebih suka memanggil dia Umar. Orang ini adalah kawan SMA-ku berpuluh tahun silam. Ia termasuk salah satu juara kelas di sekolahku yang lagi-lagi ada di masa lalu. Tapi sayang, seolah ilmu yang masuk ke dalam kepalanya membuat ia semakin terlihat tua saat ini. Keriput dari pinggiran keningnya sudah tak bisa ia tutup-tutupi lagi. Apalagi kantung mata yang menggantung begitu besar. Tapi aku semakin percaya dengan kepintarannya karena ini mulai terlihat botak sekarang.

Aku terus tersenyum saat melihat Umar dari kejauhan. Senyumku semakin lebar saat aku sudah tepat berada di depannya. Awal yang baik menurutku bisa menemui manusia ini sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Maklum, apalagi yang perlu ditunggu oleh orang tua selain kematian? 

Setidaknya Umar masih dapat menghirup napas segar dan beraktivitas sebagaimana mestinya. Karena itu informasi yang ada di dalam otaknya harus segera aku ambil sebelum ia benar-benar mati karena telah dimakan usia. Tentu aku juga harus cepat kembali ke masa lalu agar kehebatan yang dimilikinya tidak mentok sampai zaman ini saja.

“Kawan, apa yang sedang kau lakukan?” Sapaku mencoba kembali akrab.

“Hei, kau tampak muda sekarang. Aku hanya membetulkan robot tentara ini,” sahut Umar sambil tetap serius dengan objek yang ada dihadapannya. 

Mungkin ia benar, negara ini bisa kapan saja diserang oleh antek asing dengan serangan nuklir. Sikap kewaspadaannya patut diacungi dengan empat jempol yang kupunya. Tapi apakah dengan robot yang sekali kena air langsung konslet ini bisa melindungi negara dari bahaya? Mungkin memang bisa. Ilmuku belum sampai ke perkara ini. Isi kepalaku masih jauh sekali dengan yang dimiliki Umar.

“Umar, apakah semua ini tak terlihat aneh?”

“Apanya yang aneh?” Umar menengok dengan tatapan sinis kepadaku, “di negeri ini segalanya begitu istimewa. Robot membantu manusia dalam urusan apapun. Manusia hanya tinggal hidup tenang karena semuanya telah dikerjakan oleh robot,” lanjut Umar.

Aku coba menahan diri untuk tidak membalas argumen Umar. Harus kembali kusadari bahwa kedatanganku di sini untuk mencari informasi keilmuan Umar dengan sejelas-jelasnya. Aku tidak boleh membuat dirinya sampai kesal. Apalagi kalau sampai ia meninjuku dengan bantuan robot-robotnya. Tentu aku tidak akan dapat kembali ke masa lalu lagi nantinya.

Sembari mengatur napas, Umar tetap coba kuperhatikan. Dengan memberanikan diri aku coba mengulang pertanyaan untuknya.

“Apakah semua ini tak terlihat aneh?”

“Kau mengejekku?” Umar malah menimpalku dengan pertanyaan.

“Sungguh tidak. Aku hanya penasaran dengan semua ini.”

“Kau mulai meragukanku sekarang.”

Sial. Orang ini sungguh pintar memang. Susah sekali pikirku untuk bisa mencuri isi dari segala hal yang ada di otaknya. Aku mundur sedikit dari tempat robot-robotnya untuk mencari solusi lain. Di hadapanku ia tetap serius dengan objek-objek yang berhubungan dengan mesin. Sekilas aku berpikir, apakah ini semua akan baik jika kubawa ke masaku yang sebenarnya? 

Sungguh. Sejujurnya masa depan ini sangat tidak cocok dengan diriku. Dengan berleha-leha saja aku sudah bisa hidup tenang di dunia ini. Dahulu untuk makan saja aku perlu kerja mati-matian. Walau aku masih mempunyai otak, organ itu terasa tak berguna di masa ini. 

Manusia-manusia selain Umar yang kulihat sejak tadi sangat asyik dengan robot-robot yang mereka punya sendiri. Mereka sangat hebat. Mungkin akan seru jika robot-robot itu saling bertarung satu sama lain untuk membuktikan siapa yang paling kuat. Namun sial, imajinasiku terhambat saat Umar malah mulai mencurigaiku sekarang.

“Sebenarnya apa yang kau lakukan disini?”

“Tidak ada. Aku hanya ingin bertemu dengan kau,” jawabku mengelak. Semoga robot-robot disekitarku ini tidak memiliki sistem pendeteksi kebohongan.

Tapi apes, doaku barusan tidak dikabulkan oleh Tuhan. Entah apa di negeri ini juga ada sistem pereduksi doa-doa dan ilmu agama. Entahlah.

“Kau berbohong. Ada maksud lain yang kutangkap. Jujurlah,” skak mat omongan Umar kepadaku.

Mau tidak mau aku lebih baik berkata apa adanya. Mungkin memang ini yang terbaik. Sebelum nuklir dari Rusia dialihkan oleh Umar kepada diriku. Sebelum ia menghadirkan prototype neraka di hadapanku sekarang.

“Kawan, sejujurnya aku hanya ingin tau bagaimana caramu sampai sepintar ini?"

“Kau hanya perlu belajar,” seolah Umar menganggapku anak kelas 4 SD yang hanya membutuhkan jawaban sestandar itu. Namun, belum sempat aku berprasangka lebih buruk kepadanya, ia melanjutkan omongannya dengan nada yang lebih serius.

“Jika kau ingin tau resep menjadi sepertiku, maka simaklah omonganku baik-baik. Aku tidak akan mengulanginya walaupun kau memohon dan bersujud-sujud di hadapanku nanti. Aku rela membocorkan ini karena dahulu kau adalah sahabatku,” diplomatis Umar yang pastinya membuatku harus menuruti aturannya. Aku hanya merespon dengan anggukan.

Sambil menarik kursi yang terlihat tidak ada di zamanku dulu dan ia duduk di atasnya, Umar melanjutkan pembicaraan, “pertama, kau harus belajar sekeras-kerasnya di sekolah.”

Kini aku harus membuatnya tetap nyaman dengan diriku. Aku telah berhasil mengeluarkan salah satu resep kepintarannya. Setelah itu Umar terus menceritakan bagaimana masa lalu hidupnya dan yang pasti bagaimana cara ia belajar. Ia menegaskan kepadaku bahwa dirinya belajar karena obsesinya sangat jelas tentang kepintaran. Ia tidak menargetkan apapun selain menjadi pintar. Pikirnya dengan menjadi pintar, ia akan bisa menjadi pemecah masalah di negeri ini. Sambil ia tetap berbicara aku sesekali menganggukan kepala, coba menandakan aku tetap menyimaknya dengan baik.

Aku jadi ingat saat momen bersama Umar di SMA lalu. Saat ia selalu datang paling pagi dan sudah membaca buku pelajaran pertama pada hari itu. Satu hal yang paling aku ingat, Umar selalu tersenyum saat membaca buku. Namun dirinya bisa tiba-tiba berubah menjadi pegulat yang ahli saat fokusnya terhadap pelajaran telah diganggu. Anehnya ia tidak pernah berkacamata hingga kami sama-sama lulus SMA. Ia baru berkacamata sekarang ini. Kacamata yang begitu bulat yang sepertinya coba menyamarkan kantung mata yang ia miliki.

“Yang kedua, kau harus tetap belajar mati-matian setelah pulang sekolah,” Umar melanjutkan saat aku masih asyik bernostalgia.

“Ah, kau pasti bercanda,” aku mulai tidak suka dengan pola pikirnya sekarang. Namun kalimat barusan hanya berani kuucapkan dalam hati. Lagi-lagi aku tidak mau membuat ia mengerahkan seluruh robot-robot yang ada disekitarnya untuk menyerangku. Aku kembali coba memasang posisi sewajarnya sambil terus mendengarkan apa yang ia ucap.

Umar terus bercerita tentang kehidupannya setelah pulang dari sekolah. Ia merasa ilmu yang telah guru tuangkan ke otaknya sejak pagi sampai siang itu tidaklah cukup. Pada sore harinya Umar pasti menambah ilmu pada tempat yang ia sebut dengan nama bimbingan belajar, atau lebih enak menurutnya jika disebut bimbel. Ia sangat sumringah saat menceritakan hal tersebut. Seolah Umar merasa mendapatkan segalanya di tempat itu.

Sebelum aku sempat merespon kebahagiannya tersebut, Umar melanjutkan ceritanya. Ia mengutarakan bahwa ilmu yang didapat tidak sebatas dari hal itu saja. Aku berkali-kali hanya menelan ludah mendengarnya. Sambil menyondongkan kepalanya ke arahku, ia menegaskan suatu hal. Bahwa sejatinya ia masih menambah pelajaran musik, seni dan juga olahraga pada malam harinya. Sambil menepuk-nepuk pipiku layaknya orang tua yang sudah berpengalaman, ia kembali berujar, “kau jangan sampai lupa hal itu juga!”

Aku hanya mengernyitkan dahi sambil menyingkirkan kepalaku dari tepukan tangannya. Gambaran tentang kepintaran Umar sudah semakin jelas aku dapatkan. Tapi menurutku, pandangan yang Umar sampaikan terlalu berat untuk bisa kubawa ke masaku. Namun sepertinya permasalahan itu hanya ada dipikiranku saja yang memang belum sampai kesana. Aku masih menunggu apalagi resep yang setidaknya masih bisa untuk aku anggap mudah.

“Ini yang terakhir, kawan. Kau harus merasakan sakit dahulu di kepalamu sebelum kau mencap dirimu sebagai orang pintar.” Aku menjadi lega karena Umar telah menyatakan seluruh resep yang ia punya. Namun ada keanehan dari pernyataan yang ia ucap. Belum sempat aku menyangkal, Umar sudah melanjutkan, “Kau harus mampu menerapkan semuanya. Karena hanya orang yang sudah melewati ketiga tahap itu yang bisa sampai pada level kepintaranku.”

Lagi-lagi aku hanya mencoba bersikap damai untuknya. Dan untungnya tidak ada robot pendeteksi sikap palsu disini. Aku merasa aman sekarang.

Aku semakin tak bisa berkata-kata dengan proses yang Umar bicarakan. Jika mau jujur, sebenarnya aku sedang dilema tentang resep kepintaran yang telah Umar utarakan dan implementasi yang bisa aku lakukan kelak. Jati diri Umar yang asli seketika muncul pada bayang-bayangku. Aku memberanikan diri untuk coba menyangkal pernyataannya. Semoga Tuhan bisa menolongku sekarang.

“Kau sungguh aneh, Umar.”

“Kau sungguh kurang ajar. Tak sudi aku memberi resep lagi kepadamu.”

“Kau belum melewati tahap terakhir itu, Umar. Kau masih sakit.”

“Sekarang seolah kau yang lebih pintar dariku,” Umar mulai geram sepertinya dengan ucapanku. Dan celakanya tanpa kusadari aku telah melakukan blunder fatal. Mulutku yang serampangan ini telah menceploskan suatu hal yang sepertinya memang tidak disukai Umar.

Sambil menatapku dengan kedua bola mata yang begitu berapi-api, Umar coba meraih obeng yang tadi dipakainya untuk memperbaiki robot. Tapi aku menduga ia tidak ingin memperbaiki robot, karena sejatinya orang yang sedang marah tidak akan senang untuk melakukan pekerjaan. Dugaanku yang paling realistis adalah Umar menggunakan obeng itu agar bisa dengan cepat menimpuk diriku.

Persetan, dugaanku itu ternyata benar. Ia menghempaskan obeng itu dengan sekali napas. Namun beruntung diriku masih sempat menghindar. Ternyata Tuhan benar-benar membantuku sekarang. Sebelum aku sempat berterimakasih kepada Tuhan, Umar coba meraih benda lain yang ada disekitarnya. Kali ini tangannya mulai mengarah pada benda yang lebih besar. Dengan kedua tangannya yang sudah renta itu, ia coba meraih kursi yang baru saja didudukinya. Tapi malang, tulang pada tangannya yang sepertinya sudah keropos tak kuat mengangkat kursi itu. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Ulah Umar tidak berhenti sampai disitu. Hingga akhirnya ia menyuruh robot-robot yang berada di zamannya untuk segera ikut menyerangku. Dirinya sungguh menyeramkan dengan urat-urat yang tampak pada kulit tangannya. Layaknya mutan yang sudah tercampur dengan larutan-larutan kimia dengan bau yang tidak mengenakan pula. 

Tapi kali ini aku tidak perlu risau. Dokter dan petugas pada rumah sakit jiwa yang aku datangi ini ternyata lebih siaga. Mereka langsung menahan ulah berontak Umar sebelum ia sempat menyerangku. Kedua tangan Umar dihadapkan kebelakang pinggangnya dan diborgol oleh petugas yang tampak berbadan lebih besar dari orang-orang gila yang ada disana. Dipasungnya Umar yang masih meronta-ronta dan seperti menyimpan dendam pada diriku. Suntikan penenang meredakan semua kejadian itu pada akhirnya.

Yap, semua benda dan suasana yang ada di kejadian ini sebetulnya hanya rekaanku belaka. Tentu aku perlu sedikit ikut-ikutan gila untuk bisa memasuki dunia Umar. Robot-robot yang selalu Umar anggap sebagai mahakarya zamannya sebenarnya hanyalah petugas-petugas rumah sakit jiwa yang sejatinya juga tidak akan menurut jika diperintah melakukan pembunuhan kepadaku. Sejatinya mereka hanya menurut jika Umar sudah mulai terlihat lapar dan juga ketika Umar ingin mengeluarkan ampas-ampas yang ada diperutnya. Selebihnya petugas itu hanya mengawasi dan menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh sang dokter.

Hanya kini keinginanku untuk bisa bertemu dan berbincang dengan Umar sudah terobati dengan begitu sempurna. Sejak lulus SMA lalu aku terakhir beradu cakap dengannya. Kami berpisah sejak kami sama-sama selesai atas pencapaian ilmu yang telah kami perjuangkan. Aku melaju dan coba melanjutkan studi ke universitas, walau dengan banyak hambatan dan segala persoalan yang selalu aku temui. Sayang, walau tanpa hambatan dan kesulitan, Umar harus melaju ke tempat yang berbeda denganku.

***

32 komentar:

  1. sangat bagus cerpen nya kakak, dapat feel ceritanya.

    BalasHapus
  2. wow.. sangat indah, gimana resep pintar itu tidak akan pernah habis dimakan waktu..

    BalasHapus
  3. Keren banget ceritanya. Gue aja masih suka bingung kalo nulis kayak gini. Hehehe. Anyway, baru pertama kali kesini nih. Salam kenal ya. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi, Deva. Salam kenal.

      Makasih ya udah mau mampir. Hehe, masih sama-sama belajar, ah.
      Sekali lagi, makasih ya! :))

      Hapus
  4. Cerpennya legit sekali, mas. Aku suka penggambaran tokoh "Umar" yang pintar sekaligus temperamen tetapi baru kusadari "keanehannya" di akhir cerita. Alurnya mampu menarik imajinasi untuk ikut masuk ke dalam cerita dan merasakan sensasi menjadi tokoh "Aku". Salute!

    Oh iya, salam kenal ya, mas. Main ke blogku juga ya kalau sempat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, syukur kalo suka deh. Pemaknaan yang tepat sepertinya telah sampeyan dapatkan. Suwun, mas! :))

      Oke, nanti saya ajak main sama Umar di tempat lain, ya.
      Salam blogwalking.

      Hapus
  5. wah cerpen toh, dari judulnya gue kira semacam tips gitu.eh, pas terjun di blognya menjadi cerpen nan menghanyutkan. Bagus pemilihan judulnya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untung hanyutnya nggak ke hati aku, ya? Haha.
      Anyway, makasih banyak! :))

      Hapus
  6. Kirain Umarnya bener-bener bisa bikin robot, ternyata dia saking ke'pinter'an. Bagus cerpennya:)

    BalasHapus
  7. Gue dapet twist! Ternyata dia gilaaaa. Woaah. Keren ini, Bro. Gue bacanya terhanyut. Kalo tanda bacanya dan EYD diperbaiki pasti lebih bagus lagi. ^^

    BalasHapus
  8. penggambaran ceritanya pas kalo di gue dan ceritanya bikin gue terhanyut. Keren banget!
    salam kenal ya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hanyut kemana, nih? Hehe iya makasih! Salam kenal juga...

      Hapus
  9. Balasan
    1. Hahaha xD

      Selamat ya, dapat award nih ;) http://coretanrifqi.blogspot.com/2015/01/my-3rd-4th-and-5th-liebster-award.html

      Hapus
  10. Gue pernah baca cerpen seperti ini, Dan persis sekali. Tapi, kejutan yang lo hidangkan lebih menarik, Pembaca seolah larut dalam keindahan kata-kata yang lo buat. Saran gue, coba perhatikan tanda baca. Dan mengapa tahunnya itu terlalu lama? 2064? Mengapa gak lo buat aja di tahun sekarang ini. Tapi, kembali lagi ke penulis. Itu imajinasimu. Dan kembangkan terus!

    BalasHapus
    Balasan
    1. 2064 itu sebenarnya tahun sekarang ini, kok. Cuma dalam dunia Umar semua pandangan mulai terlihat berbeda kan. Gitu, deh.

      Terima kasih komentarnya, kang. Sering-sering mampir ya! :))

      Hapus
  11. Ceritanya kerena + ijin share ya

    salam kenal ya bro

    BalasHapus
  12. waaahh, endingn-endingnya rada ngetwist. kayak di film shutter islan aja :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu siapanya Chelsea Islan ya, bro? #kemudianhening

      Hapus
  13. keren bangeeet twisted plotnya udah bagus bangeet. coba pilihan katanya aja dimainin gitu biar lebih seru hehe
    terus nulis yaaa! :D

    BalasHapus