Minggu, 31 Januari 2016

Bagaimana A.S. Laksana Menghadirkan Perempuan dalam Ceritanya

Buku terbaru A.S. Laksana

Oktober 2015 lalu, sastrawan absurd peraih gelar penulis sastra terbaik Tempo 2004 dan 2013 itu akhirnya menghadirkan buku kumpulan cerpen terbarunya. Setelah berhasil dengan Bidadari yang Mengembara dan Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu, kini ia coba menawarkan sebuah hegemoni baru melalui Si Janggut Mengencingi Herucakra. A.S. Laksana, yang juga akrab disapa Sulak, sepertinya masih setia untuk mengolah pelbagai persoalan hidup melalui estetika magis. Itu tercermin dari judul-judul nyelenehnya yang jika didalami lebih lanjut akan membawa kita, sebagai pembaca, menuju sebuah hamparan absurditas yang kompleks nan menggugah.
Bertolak dari ketergugahan itu, saya tergelitik untuk menyelami persoalan cerita-cerita A.S. Laksana jauh lebih mendalam. Jika sudah banyak pembaca-pembacanya yang menyinggung tulisannya berdasarkan payung besar realisme magis, maka saya akan coba mengulik persoalan lain yang rasanya-rasanya masih sebatas obrolan ringan di warung kopi dan kantin kampus saja. Jika realisme magis adalah payung besarnya, maka pemahaman yang akan saya fokuskan ini adalah bagian dari besi-besi kecil yang kemudian bisa membuat payung menjadi terbuka lebar. Dan, mungkin sekarang kita bisa menyebut besi kecil tersebut sebagai besi-besi feminisme.

Persoalan-persoalan feminis selalu menarik di era kontemporer ini, terlebih dengan segala kaitannya dengan postmodernisme, feminisme terasa begitu dekat dengan kehidupan masyarakat masa kini. Terlihat dari banyaknya karya feminis yang muncul di era milenium sekarang. Sebut saja apresiasi Saman karya Ayu Utami, yang konon, meledak di pasaran buku sastra kita. Adapun penulis-penulis lain seperti Djenar Maesa Ayu, dengan Nayla dan film Nay-nya, serta masih banyak lagi. Walau jika diperhatikan, sebetulnya itu hanya segelintir bagian dari feminisme yang lebih akademis jika disebut sebagai gynocritic (1). Padahal, jika melihat perkembangan sastra yang lebih luas, pembahasan dunia feminin tak melulu dibahas atau disinggung oleh perempuan sendiri. Sebut saja Umar Kayam lewat Sri Sumarah-nya dan Armijn Pane dalam Belenggu-nya yang coba menghadirkan persoalan feminis lewat kacamata lelaki. Dan dari berbagai kemunculan tersebut, kini A.S. Laksana bak Umar Kayam atau pun Armijn Pane di era kontemporer. Setidaknya itu hipotesa awal saya sebagai pembaca setia cerita-ceritanya.
Dalam Si Janggut Mengencingi Herucakra sebetulnya terdapat 12 cerita pendek yang tak semuanya menyinggung persoalan dunia feminin. Dari kesekian banyak cerita, saya hanya memilah dan memungut beberapa cerita yang sekiranya cocok dengan pembahasan yang akan saya paparkan kemudian. Diantaranya adalah Dijual: Rumah Dua Lantai Beserta Seluruh Kenangan di Dalamnya, Orang Ketiga di Malam Hari, Rashida Chairani, Alit dan Nita dan Kencan yang Mematikan, dan Perpisahan Baik-baik. Berikut, saya akan paparkan secara bertahap melalui formulasi catatan bebas di bawah ini. Semoga runutan penjabaran berikut akan membawa Anda pada tingkat pemahaman yang tak akan membuat garuk-garuk kepala.

A/
Dalam sastra, perkembangan isu feminis bergerak melalui banyak aspek yang penting untuk ditelusuri poinnya satu per satu. Gejala feminis tidak begitu saja merangsek pada sebuah karya, beberapa timbul karena budaya patriarki yang telah mendarah daging serta beberapa yang lain karena coba melakukan perlawanan. Dalam satu hal, persoalan sastra feminis dianggap sebagai sebuah ladang eksplorasi dan ekspresi suatu kaum. Dan bagi setiap pengkaji sebetulnya tak perlu pusing karena apa yang ditawarkan para kaum feminis sangatlah dinamis dan tak terpaku pada satu metodologi atau pendekatan khusus (2) yang kaku.
Walau begitu, tetap menjadi penting untuk memahami persoalan feminis seperti apa yang muncul pada karya sastra secara jelas. Beberapa kasus bisa kita simpan di dalam kepala, untuk dijadikan bahasan sebagai alat menduga-duga dan melandasi pengkajian seperti, bagaimana tokoh perempuan diciptakan dalam sebuah cerita? Apa yang membuatnya berbeda dengan tokoh laki-laki? Ataupun isu-isu menyangkut gender seperti apa yang diangkat dalam sebuah cerita? Apakah ada relevansi yang pas untuk diperdebatkan? Apa tokoh dalam cerita merepresentasi kuatnya ideologi patriarki? Atau ia mencoba melawan? Dan terus sebagainya. Dengan begitu pemahaman akan persoalan yang perlu ditelusuri menjadi konkret dan saya, sebagai pembaca, tak akan pusing pada spekulasi pemaknaan yang mungkin dianggap kelewatan. 
Selain itu, sebagaimana kaum feminis merasa bahwa subordinasi yang perempuan dapatkan adalah sebuah konstruksi sosial yang dibentuk dan bukan kejadian alamiah, maka saya sebagai laki-laki perlu menerapkan prinsip reading as a woman (3) sebagaimana yang telah kritikus-kritikus adiluhung lakukan. Sebab dengan begitu saya bisa memahami dengan jelas bahwa adanya perbedaan yang digelisahkan perihal female dan feminin (4). Pada akhirnya, kegelisahan itu pun akan berujung ketika saya mampu menemukan pasangan sifat yang bertentangan antara perempuan dan laki-laki atau disebut sebagai oposisi-biner (5). Seperti stigma bahwa lelaki adalah subjek dan perempuan adalah objeknya atau ketika Alit dikatakan rasional sementara Nita adalah irasional yang mengutamakan perasaan. Membongkar oposisi-biner menjadi misi penting yang akan saya lakukan kemudian. Tak peduli dengan Aquinas yang mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna atau pun Sigmund Freud perihal pernyataan kecemburuan perempuan terhadap penis pria.

B/
Saya berasumsi bahwa para pembaca tulisan ini tertarik dengan apa yang coba ditawarkan oleh A.S. Laksana, entah itu persoalannya dalam menciptakan keunikan estetik, pergulatannya pada feminis, serta hal-hal lain. Dengan harapan pastinya Anda telah membaca cerita-cerita dalam kumcer Si Janggut Mengencingi Herucakra atau setidaknya Anda berpikiran untuk membacanya setelah menjumpai esai ini.
Potret gejala feminis yang pertama sudah terlihat pada kumpulan cerpen karangan Sulak tersebut. Judulnya, Dijual: Rumah Dua Lantai Beserta Seluruh Kenangan di Dalamnya. Dalam cerita, terdapat tokoh suami-istri yang memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Pergolakan terjadi saat A.S. Laksana menggambarkan sifat suami yang bebal dan keras kepala berbanding terbalik dengan sifat sang istri yang lebih perasa. Terlihat pada pernyataan sang istri, “Sungguh, lelaki itu tak pernah bisa memahami perasaannya.” 
Persoalan serupa, mengenai perpisahan, juga terlihat pada cerpen-cerpen lain. Bagaimana pada Lelaki Merah di Kaca Jendela menggambarkan tokoh Nita yang merasa ditinggalkan oleh Lelaki Merah dan memutuskan untuk setia menunggu dan tidak akan menikah dengan siapapun selain kepadanya. Ada pula Perpisahan Baik-baik yang memisahkan tokoh Robi dan Ratri yang tak jadi menikah akibat kekhawatiran Ibunda Robi sebab Ratri tidak bisa memberikan keturunan. Sangat terlihat seolah perempuan dilukiskan sebagai korban yang lemah dan tidak bisa menuntut banyak hal.
Walau demikian, ada hal menarik yang disuguhkan A.S. Laksana ketika menghadirkan cerpen Orang Ketiga di Malam Hari. Dalam cerita tersebut, terdapat tokoh Pras yang menjadi korban kisah percintaan yang mana sungguh tak biasa. Pras dan Ratri telah menikah, namun lelaki itu merasa dikhianati oleh Ratri yang ternyata masih mencintai Seto yang tak lain teman Pras sendiri. Mereka pun akhirnya memutuskan bercerai setelah Pras tak sanggup melihat Ratri yang setiap malam selalu memimpikan Seto. Dalam kasus ini, laki-laki berada pada posisi yang terpojokkan.
Di lain hal, A.S. Laksana membungkus beberapa karakter perempuannya menjadi perempuan pekerja yang seolah menjadi pergolakan satire dalam ceritanya. Pada cerpen Dijual: Rumah Dua Lantai Beserta Seluruh Kenangan di Dalamnya, sang istri digambarkan sebagai pekerja kantoran sementara kebalikannya, sang suami lebih terlihat sibuk di rumah. Pun melalui cerita Orang Ketiga di Malam Hari yang mana Ratri merupakan pekerja. Tercermin pada bagian berikut, “Dengan lelaki itu aku hanya pernah bertemu sekali. Aku yakin hari Minggu sore karena saat itu aku libur bekerja.”  Pun dalam Alit dan Nita dan Kencan yang Mematikan, tokoh Nita merupakan seorang penyanyi kafe yang penuh kerja keras tiap harinya.
Sedang ciri perlawanan kaum feminis sangat terlihat pada cerita Rashida Chairani. Saat itu, Ibu menceritakan peristiwa pemerkosaan yang dialami kepada anaknya. Poin perlawanan bagi saya muncul ketika Ibu, yang mengharapkan kehadiran anak laki-laki, walhasil malah melahirkan anak perempuan. Si anak itu ingin membalas apa-apa yang telah menimpa ibunya kepada bajingan-bajingan yang telah melakukan pemerkosaan. Walau terlihat seperti dendam yang diteruskan, peristiwa tersebut seolah menunjukan sikap perempuan yang mulai mendobrak kegelisahannya seputar isu-isu seksual.
Sepertinya A.S. Laksana bergulat cukup sengit dalam meramu unsur feminis melalui ceritanya. Banyak plot twist yang dihadirkan dan penyajian karakterisasi tokoh yang tak melulu terjebak pada stereotip budaya patriarki. Memang seperti itu yang diharapkan oleh para feminis, yang merasa keseimbangan gender tentu lebih baik dibanding ketimpangan yang rasa-rasanya merendahkan. Sampai pada suatu titik, segala pergulatan itu akan membawa pembaca pada pemahaman kehidupan perempuan yang kompleks dan sulit diterka.

C/
Bagaimana A.S. Laksana menghadirkan perempuan dalam ceritanya merupakan pertanyaan yang terus terngiang di kepala saya. Ia tiba-tiba saja muncul di kepala dan langsung menghentak saya untuk mulai menelusurinya. Dan perjalanan menelusuri cerita adalah sebuah perjalanan panjang yang belum tentu akan sampai pada tujuan. Itulah apa yang dihadirkan oleh A.S. Laksana. Melalui kumpulan cerpen Si Janggut Mengencingi Herucakra, ia coba menghadirkan perempuan lewat segala isu yang memang dekat dengan perempuan walau tak sepenuhnya benar perkaranya. Ada relevansi dan kelogisan yang ia ramu untuk mengaitkannya dengan dunia nyata hingga menyeret pembaca pada fase untuk merenung dan memikirkan persoalan parsial yang mencakup entitas feminis. Ia mengolahnya mulai dari karakterisasi, penyusunan plot, sampai pemilihan konflik yang rasanya sangat feminis. Hingga persoalan-persoalan parsial itu membawa kita pada pemahaman adanya tragedi yang diangkat oleh A.S. Laksana untuk membuat persoalannya terlihat semakin getir. Namun, tentu apalah arti kegetiran yang hanya mengoyak-ngoyak isi hati bila pada kenyataannya perempuan masih tetap dalam subordinasi kaum laki-laki?

--
Catatan kaki:
(1) Gynocritic adalah seruan yang dikatakan oleh Elaine Showalter dalam esainya Toward a Feminist Poetic. Baginya, gynocritic adalah kerangka perempuan untuk menganalisis sastra perempuan, untuk mengembangkan model-model baru yang didasarkan pada studi pengalaman perempuan, bukan untuk beradaptasi model dan teori laki-laki.

(2) Kutipan Djajanegara (2005) dalam buku Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra (2014:160)

(3) Female dan feminin adalah istilah yang membedakan kesan alamiah (biologis) dan konstruksi sosial yang dibentuk. Contoh female adalah perempuan memiliki payudara sedangkan femininnya perempuan itu lemah.

(4) Reading as a woman merupakan ungkapan praktisi sastra asal Amerika, Jonathan Culler, untuk membaca dengan tujuan membongkar ideologi patriarki.

(5) Istilah oposisi-biner saya dapatkan dari buku Kajian Prosa Fiksi oleh Irsyad Ridho (2013:108).

4 komentar:

  1. Mang Eka, Paman Yusi, dan Om Sulak ini yg paling saya nanti-nanti kalau soal kisah-kisah. Dan soal meramu isu feminis, saya kira mereka juga jagonya.

    BalasHapus
  2. Jujur, gue sering denger-denger nama A.S Laksana dan tau kalo beliau itu penulis, tapi belum pernah baca bukunya hehe. Dan buku Si Janggut Mengencingi Herucakra kayaknya boleh juga, minggu depan gue coba beli ke gramedia deh. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus itu.
      Walau dalam kitab tak tertulis harus membaca buku A.S. Laksana, tapi aku tetap menyarankanmu untuk segera membacanya. Sesegera mungkin.

      Hapus