Minggu, 17 Januari 2016

Menyembah Allah yang Palsu: Hitam Putih dan Tetek Bengek Lainnya

Sebelum kita mempersoalkan masalah korupsi pejabat negara, skandal Papa Minta Saham, lobi sana-sini untuk memenuhi kepentingan, serta lain semacamnya di era kontemporer ini, dramawan Kwee Tek Hoay sudah menggelisahkan hal serupa lampau sekali. Di tahun 1919, ia menetaskan naskah drama Allah yang Palsu, yang mana itu menceritakan sebuah permasalahan manusia yang menjadikan uang sebagai Tuhannya. Sebagai drama realis, di mana penekanannya adalah kenyataan, drama tersebut sangat merepresentasikan apa-apa yang terjadi pada zaman tersebut.
Allah yang Palsu menceritakan tentang dua orang kakak-adik bernama Tan Kioe Lie dan Tan Kioe Gie dalam peruntungannya mencari rezeki di daerah perantauan. Lie masuk dalam kelompok bisnis di Bandung, sedangkan Gie adalah jurnalis sebuah harian surat kabar di Betawi. Dalam perjalanannya mencapai kesuksesan, Lie adalah kebalikan dari Gie. Jika Gie berorientasi hidup sederhana, banyak berderma, dan berlaku baik terhadap sesamanya, maka Lie tidak begitu. Ia hidup mewah dan necis, pelit berbagi, dan baginya licik bukanlah suatu masalah. Simpelnya Tan Kioe Gie adalah representasi penyembah Allah sungguhan, sedangkan Tan Kioe Lie adalah penyembah Allah yang palsu, atau dapat diibaratkan ia penggila uang.

Lie menganggap uang adalah hal utama apapun caranya. Maka dari itu ia memperjuangkan berbagai hal untuk mendapatkan apa yang dia mau. Pertama, ia mengkhianati Lie Tjin Tjaij, pengusaha baik yang telah mempromosikannya dari kuli jemur kacang sampai menjadi penguasa di firma Bie Hoo. Kedua, ia pindah ke perusahaan Tjio Tam Bing, yang notabene adalah pesaing utama Lie Tjian Tjaij. Alasannya sepele, hanya untuk gaji yang lebih tinggi. Ketiga, dan yang paling mengenaskan, ia meracuni Tjio Tam Bing lalu menikahi istrinya agar kemudian bisa menikmati harta peninggalannya yang sangat banyak. Hal-hal nista seperti itu tidak dilakukan Gie, bahkan ketika dirinya ditawari gaji dua kali lipat untuk mengubah haluan surat kabarnya agar lebih pro Belanda. Idealisme Gie sangat kokoh terhadap kebaikan. Jelaslah, Lie dan Gie mempunyai cara yang berbeda dalam memandang uang.
Walau pada akhirnya Lie kena batunya sendiri. Saat ia memperkirakan telah memiliki harta sungguh melimpah, kesialan perlahan datang menghampiri. Setelah mempersunting istri Tjio Tam Bing, kehidupan Lie menjadi ruwet. Bisnisnya hancur, hutang di mana-mana, rumah tangga yang tidak akur, sampai persoalan Lie yang menjadi buronan polisi. Ia tak lagi mampu mengelola uangnya, yang ada, ia malah dikelola oleh (mantan) harta-hartanya itu. Sekalipun pada akhir cerita Lie menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan, namun itu tidak memiliki arti. Ia mengakhiri hidupnya dengan tragis, yakni bunuh diri. Sangat bertolak belakang dengan Lie, Gie hidup nyaman di kampungnya, Cicuruk, bersama istri dan anak-anaknya setelah mengundurkan diri dari dunia jurnalistik. Tak disangka-sangka, Gie yang tadinya hanya mengira akan bertahan hidup sederhana malah berhasil menjadi saudagar kaya di kampungnya.
Alhasil, kita melihat drama Allah yang Palsu bergerak melalui dua tokoh penting yang diciptakan Kwee Tek Hoay. Bagaimana ketimpangan sifat Lie dan Gie membuat sebuah konflik yang kemudian menggiring tokoh-tokoh itu dari persoalan satu ke persoalan lain. Adapun apa yang digambarkan oleh sang dramawan melalui dramanya merepresentasikan kewajaran dalam kehidupan nyata. Bagaimana Lie yang sejak awal diceritakan begitu bebel dan keras kepala akan sebuah kejahatan, toh pada akhirnya ia sadar akan kebodohannya itu. Ada juga Gie yang digambarkan begitu tegas ketika mendapati hal yang tidak sesuai dengan kebenaran, ia mampu marah dan berontak. Walau pada sebagian besar cerita sesungguhnya Gie lebih bersifat kalem dan tak banyak ulah.
Kesadaran seperti itu sangat naluriah dalam kehidupan manusia. Ada hal-hal yang kemudian memengaruhi proses mentalnya, kebiasaan dan lain-lain hingga bermuara pada lahirnya suatu perilaku. Kwee Tek Hoay pun masih menyisakan satu perkara yang kemudian menjadi tanda tanya bagi saya pribadi selaku pembaca. Motif seperti apa yang diemban Lie dan Gie sebetulnya dalam mengejar uang? Mereka berdua lahir di keluarga dan mendapat pola didik dari orang tua yang sama. Pun keduanya menimba ilmu di Hollandsch-Chineesche School. Seolah Kwee Tek Hoay menyisipkan satu misteri besar dalam kehidupan ceritanya hingga Tan Kioe Lie dan Tan Kioe Gie memiliki motif yang sukar untuk dipahami, yakni dari pola pikir bawaannya.
Namun itu bukan penghalang besar tentunya untuk memahami segala yang terkandung dalam Allah yang Palsu. Malah saya terasa diberi tahu, bahwa ketika sudah melihat perilaku keseharian orang pun sesungguhnya tak bisa menjadi alasan bagi saya untuk melakukan penghakiman mutlak. Ibarat sebuah gunung es, apa yang terlihat sesungguhnya hanya sebagian kecil di permukaan. Ada bagian lain yang tertutupi di bawah yang sulit untuk dipahami, itulah motif. Kwee Tek Hoay menggiring pembacanya sampai pada persoalan kebajikan yang lebih jauh lagi.

Dan di saat ini, kedua tokoh tersebut menyajikan hidangan refleksi diri yang cukup menggambarkan pilihan dengan jelas. Kita bisa menerawang mana yang hitam dan mana yang putih. Seolah Kwee Tek Hoay ingin menunjukan dua sisi yang mungkin muncul dalam diri manusia. Setelahnya, mungkin kita akan tergelitik untuk melihat keberadaannya. Apakah kita ini penyembah Allah sungguhan atau, jangan-jangan, kita adalah penyembah Allah yang palsu?

8 komentar:

  1. Seru kali ya kalau difilem-kan buat jaman sekarang...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, pastinya menarik. Bahan kontemplasi diri. :))

      Hapus
  2. jangan-jangan, kita adalah penyembah Allah yang palsu?
    bisa jadi, kadang sholat saja ingetnya gak pada Allah malah selainNya
    bisa jadi, kadang puasa saja jadi sarana buat kita menghemat bagi anak kos.
    ah banyak lainnya lagi. oh ya salah ding, kita.nya diganti aku. hehehe
    Kadang memang keikhlasan berasal dari kegiatan yang melalui pemaksaan.
    agar senantiasa membiasakan diri, salam kenal faisal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan-jangan, kita jodoh?
      Halah.
      Hai. salam kenal juga ya, Mbak. Terima kasih sudah berkenan mampir.

      Hapus
  3. Jadi inget "$ is your God" karya vandalis Kidult buat para kapitalis. Btw, Nice post :)

    BalasHapus