![]() |
Inspired by: Kereta Malam |
Dipegangnya sebuah lembar foto yang berwarna hitam-putih. Lembaran polos di belakangnya sudah mulai menguning. Paras wanita yang terpampang sungguh menawan. Rambutnya panjang, senyumnya begitu manis. Walau kalau dilihat dari matanya agak sedikit sipit. Cukup beda dengannya yang memiliki perawakan besar dan terlihat chubby. Rani, sudah lama menanti-nantikan kehadiran neneknya. Namun sang nenek yang berada jauh di Surabaya sana tak kunjung datang.
"Bu, nenek kemana sih?" Gerutu Rani sambil kembali memasukan foto tersebut ke dalam album.
"Gak tau, tuh. Kemarin nenek juga bilangnya kangen sama kamu loh, Ran.
Pikiran Rani mulai mencari sisa-sisa ide yang bisa digunakan. Tiba-tiba kini otaknya berfungsi dengan baik. Rani ingin menemui neneknya langsung di Surabaya. Entah apa ini ide gila atau terlalu nekat. Rasa kangen yang dipendamnya tak tertahankan lagi. Ia ingat, saat masih berseragam putih abu-abu dirinya terakhir kali bertemu dengan sang nenek. Sekarang boro-boro seragam SMA nya muat. Pakaian wisuda yang baru sebulan dipakai pun sudah sempit dibadannya.
Bermodal ingatan masa remaja. Kenekatan yang ada di dalam diri Rani muncul saat itu juga. Tanpa bilang kepada siapapun, ia langsung menyusuri Stasiun Gambir. Sungguh asri karena penuh warna hijau di dalamnya. Namun suasana makin hening saat bulan semakin menunjukan jasadnya. Sisa uang yang disimpan di bawah kasur Rani pun hanya cukup membawanya pergi dengan kereta ekonomi. Ia bisa bersyukur. Kali ini tak banyak orang terlihat di kereta. Perempuan ini cukup bisa menselonjorkan kaki di dalam sembari menunggu lamanya petualangan ke Surabaya.
Kalau boleh jujur. Suasana malam itu cukup membuat bulu kuduk Rani berdiri. Berkali-kali ia melihat ke jendela hanya langit hitam yang terlihat jelas. Sesekali ia menyadari ada bayangan putih dari belantaranya. Tapi mungkin itu hanya halusinasi kesendirian yang dirasakan. Ketakutan Rani membuatnya memaksakan diri untuk menutup mata. Kelopaknya semakin berat hingga akhirnya pikiran Rani pun terlelap.
*
Sinar matahari perlahan menembus jendela kereta. Ia kaget saat membuka mata ternyata sudah ada orang lain yang duduk di sebelahnya. Seorang lelaki dengan perut buncit dan kumisan ini mungkin baru masuk dari stasiun sebelumnya. Tak apalah karena lelaki ini masih terus memejamkan mata saat Rani tersadar. Kali ini ia mulai bisa melebarkan senyumnya. Pemandangan yang semalam cukup membuat risau kini telah berubah. Barisan sawah yang terhampar di depan matanya sungguh mempesona. Burung-burung yang berterbangan di atasnya sungguh membuat Rani terperanga saat itu. Maklum ini memang perjalanan pertama Rani pergi menggunakan kereta. Terlebih seorang diri.
Terlalu asik menggunakan ponselnya untuk memfoto pemandangan. Membuatnya tidak sadar kalau sudah ada 17 missed calls yang terpampang dilayarnya. Ia mulai menyadari ketika ponselnya kembali bergetar di panggilan ke-18. Tertulis nama ibu di layar ponsel itu. Rani berpikir kalau memberi tahu ibu ke Surabaya pasti dirinya akan dimarahi. Atau mungkin Perang Dunia ke-3 akan meletus sekarang jika Rani berkata jujur. Langsung diabaikanlah panggilan sang ibu. Pandangannya kembali mengarah ke jendela. Mencoba menikmati setiap momen yang ada.
Beberapa jam berselang akhirnya kereta berhenti. Badan yang tadinya kaku pun mulai bisa dilemaskan saat ini. Stasiun Pasar Turi yang disinggahinya menjadi saksi baru petualangan Rani. Ia mulai terdiam karena tujuan kali ini adalah bertemu orang yang begitu dicintainya. Alam bawah sadar Rani kembali mencoba mengingat. Namun lagi-lagi jalan buntu. Pikirannya hanya menunjukan bahwa rumah nenek hanya 50 meter di belakang stasiun. Ia kemudian bergegas. Mungkin akan ada yang bisa ditanya nanti. Pikir Rani demikian.
Langkah per langkah mulai mengantarnya ke belakang stasiun. Hingga ia semakin bingung karena tak ada hawa kehidupan pun yang terasa disana. Dikesendiriannya ini pikirannya kembali berfungsi. Ia mengira-ngira pijakannya hingga sampailah di meter ke-50. Matanya mulai terbuka lebar, senyumnya begitu manis kali ini. Ia semakin ingat bahwa di depannya terdapat rumah yang ia kenal. Rumah yang pada masa SMA lalu terakhir kali ia kunjungi. Namun, petualangannya belum berakhir sampai disini. Sang nenek belum terlihat juga dengan kedua bola matanya.
Ketukan pertama belum membuat seorang pun keluar dari rumah nenek. Ketukan kedua hingga ketiga pun demikian. Sampai akhirnya ponsel yang sejak tadi bergetar pun nampaknya harus segera diangkat. Terdengar suara ibu yang mulai khawatir. Suaranya kencang sekali. Begitu memekik telinga yang ada.
"Rani! Kamu dimana sekarang?" Sahut ibu yang kalau dibayangkan akan menyeramkan sepertinya.
"Ibu.. Ibu.. Rumah nenek itu yang pagar coklat terus temboknya putih, kan?" Balas Rani sembari was-was.
"Hah?! Kamu ngapain di Surabaya?"
"Hehe gapapa, bu. Rani kan mau ketemu nenek." Kembali ujarnya dengan perasaan tidak bersalah.
"Aduuuuuh Rani! Ibu nelpon kamu karena nenek yang nyariin."
"Ah, nenek?!"
"Iya, nenek sekarang di Jakarta, Rani. Ayo cepat pulang!"
Petir kemudian menyambar atap rumah nenek begitu keras. Padahal hari sangat terang pagi itu. Tatapan Rani berubah menjadi kosong. Mungkin kalau di depannya ada jurang, ia lebih memilih loncat saat itu dibanding harus pulang. Entah ini bisa dibilang nekat atau ceroboh. Yang pasti perjalanan Jakarta menuju Surabaya, atau pun sebaliknya bukanlah perjalanan yang singkat.
Sekian.
Inspired by: Kereta Malam - Elvy Sukaesih
ohh aku tau kesimpulanya bang.. jadi rumah nenek itu kesamber petir yah? hahahahaha
BalasHapusHahahaha, cuma konotasi aja itu, Kakaaakkk :D
HapusHahaha bisa jadi. :))
Hapusahay!faizal dangduters!
BalasHapusAhay pemirsaaa!
Hapuskereta malam? hakhak.. *tibatiba keingat ibu* dulu sering bnget mutar lagu ini.
BalasHapusNostalgia nih ceritanya. Heuheu.
Hapuslagunya...hahahahahhaahha bagus ceritanya
BalasHapusHahahaha makasih, Wita! :))
Hapus