Minggu, 29 Maret 2015

Nyastra di Minggu Ceria


Tulisan ini saya posting dalam rangka "ALF2015 Fun Blog Writing Competition"
  
22/3/2015

Minggu telah kembali datang dengan sisa-sisa kenangan yang kembali terseret mimpi. Biasanya, di Minggu pagi saya sering menyempatkan waktu untuk menonton Doraemon. Mengulur segala nostalgia yang cukup membuat batin merasa lega. Film kartun di pagi hari memang selalu sulit dihindarkan, terlebih bagi generasi 90-an.

Namun hari itu lain. Saat matahari sangat nyaman untuk saya berleha-leha, saya harus segera bergegas. Pergi ke suatu tempat, dan tentu melakukan hal yang lebih penting. Tujuan saya hari itu adalah Taman Ismail Marzuki.

ASEAN Literary Festival (ALF), atau jika diindonesiakan menjadi festival literasi tingkat Asia Tenggara ini telah memasuki hari terakhir. Komunitas Stomata, yang menjadi tempat saya belajar sastra, membuka booth di sana. Stomata membawa misi untuk menyebarkan semangat literasi yang kini mulai padam dipendam berbagai hal remeh-temeh. Barang tentu menyempatkan waktu untuk kembali bersua dan menyerap ilmu bersama menjadi sesuatu yang sayang jika dilewatkan.

Sesampainya di TIM, aroma penikmat sastra sudah mulai tercium dari tempat saya memarkir kendaraan. Banyak sekali pegiat sastra serta komunitas saling bercengkrama, mulai dari yang berpakaian rapi bak pegawai kantoran, berdandan necis layaknya anak gaul Jakarta, hingga pria-pria gondrong yang sangat terlihat seperti seniman. Banyak pula buku yang berjejer di tempat itu. Dari mulai buku mahal, buku 15 ribuan, hingga buku gratisan hadir menggoda mata. Barang tentu setiap buku itu mempunyai pangsa pasarnya masing-masing. Dan harga buku tidak melulu pengaruh dengan kualitas. Setidaknya, itu pendapat saya.

Mondar-mandir melihat banyaknya buku (walaupun tidak beli) sudah merupakan sebuah kenikmatan tersendiri. Pasti akan menjadi sebuah keberuntungan jika iseng-iseng itu berbuah manis, minimal berharap ada yang khilaf memberi saya buku gratis. Walau nyatanya tidak, sih. Hingga pijakan kaki saya berakhir di depan booth Stomata, dan tentu memang tujuan utamanya ke sini. Berhura-hura menyemarakkan literasi.

Bung Anto, seorang esais dan temannya menyambut saya dengan hangat. Kedatangan saya langsung dijamu dengan Teh Perubahan, minuman yang selalu menjadi saksi bisu kawan-kawan Stomata di festival tersebut. Meminum teh sembari menyambut para pengunjung ALF yang ingin berkenalan dengan Stomata merupakan sensasi menyenangkan. Berkenalan dengan semangatnya, kegiatannya, dan juga karya-karyanya.

Hingga tak terasa matahari pun telah semakin tergelincir jauh ke sana. Semakin ramai pula orang yang juga mondar-mandir menyemarakkan literasi. Beberapa tampak asing, dan beberapa lagi begitu membelalak mata. Bukan karena gadis seksi, atau pun penjaga booth yang menggoda. Beberapa sastrawan tampak mondar-mandir, yang selama ini hanya saya lihat namanya terpampang di sampul buku.

Oiya, mereka ternyata juga mengisi acaranya di ALF ini. Ada Damhuri Muhammad, Joko Pinurbo, dan Hasan Aspahani. Membahas dan coba menostalgiai dua sastrawan hebat Indonesia lainnya: Chairil Anwar dan Sitor Situmorang. Obrolan di panggung utama begitu menarik pengunjung yang ramai menepi. Panasnya matahari yang tampak meledek bukan menjadi persoalan kala itu. Semua terbuai dengan cerita mereka. Bagaimana Chairil Anwar gemar mencuri buku begitu menggelitik massa, sosok-sosok yang mempengaruhinya, hingga karya-karya yang melegenda. Dan juga cerita Sitor Situmorang yang melalangbuana ke Paris, sampai sosok Ir. Soekarno yang begitu melekat padanya.

Satu hal yang saya senangi tentunya: ilmu!

Beres jam empat, dan selanjutnya Stomata beraksi dalam Community Session. Kini saatnya penyair Amar Ar-Risalah unjuk gigi. Walau di sini bukan giginya yang ia tunjuki, melainkan dirinya memperkenalkan wujud Stomata kepada penggiat literasi se-ASEAN. Gayanya yang khas, dengan celana yang menggantung woles, serta obrolan yang begitu bersahabat membuat Stomata terlihat semakin dekat dengan khalayak. Keriuhan jenaka sambil menertawai kondisi susastra Indonesia yang kian amburadul diolah Amar dengan sangat ciamiknya. Saya tertawa sekaligus tertegun kala itu.

Puncaknya ketika langit telah menunjukkan gelap, dan hujan turun tanpa permisi lebih dahulu. Di Teater Kecil, TIM, penutupan ALF akhirnya digelar. Para pencinta sastra dan orang-orang yang terjebak hujan ikut masuk ke dalam, melihat kemegahan. Dibuka dengan suara pewara yang begitu manis, dan juga penerjemah yang begitu lihai mengalihkan bahasa, saya siap mengakhiri ALF tahun ini.

I La Galigo menjadi pembuka yang begitu melodramatik. Tentu, para penggiat naskah-naskah kuno sangat senang melihat pertunjukan tersebut. Selanjutnya, pembacaan puisi yang tidak kalah asyik dari Zawawi Imron, Joko Pinurbo, dan penyair-penyair hebat lainnya. Lagi-lagi, saya terpukau, tertawa, sekaligus tertegun kala itu. Kapan ya saya bisa sehebat mereka?

Sayang, belum sempat menyelesaikan acara, perut saya sudah berontak manja. Saya pun bergegas meninggalkan Teater Kecil sambil mengengok kedai-kedai terdekat, sambil berharap tentu ASEAN Literary Festival tahun depan akan lebih asyik lagi, dan juga makin ramai!

Beberapa foto:

Kondisi lapak komunitas-komunitas literasi (@stomata_)

Lapak komunitas Stomata Rawamangun (@stomata_)

Damhuri, Jokpin, dan Hasan Aspahani diskusi tentang Chairil serta Sitor (@damhurimuhammad)

Amar Ar-Risalah memperkenalkan Stomata ke khalayak ASEAN (@stomata_)

I LA GALIGO! (@MarryFarrow4)

Zawawi Imron membacakan puisinya (@triem)

Joko Pinurbo! (@triem)

“Kalau sebuah bahasa dengan kesusasteraannya tidak didukung oleh tradisi membaca masyarakatnya, maka kematiannya akan segera menyusul.” - Ajip Rosidi, Mencari Sosok Manusia Sunda: Sekumpulan Gagasan dan Pikiran

4 komentar: