Sabtu, 27 Februari 2016

Tips Menulis ala Raditya Dika

Waspadalah akan Raditya Dika's Effect!

Semua tahu menulis adalah sebuah pekerjaan yang rumit. Kita dituntut mengutarakan segala yang ada di kepala kepada orang lain. Permasalahannya, kadang ketika seseorang menulis, suara yang muncul tak seperti ketika ia berbicara. Sebab seseorang pada awalnya mungkin terbelit-belit oleh ungkapannya sendiri, kebingungan merunutkan gagasan, hingga persoalan-persoalan pemilihan kata yang rasanya sering membuat (calon) penulis garuk-garuk kepala. Belum lagi soal selera tulisan yang kadang menjadikan seseorang semakin bingung dengan apa-apa yang harus ditulisnya.

Tapi percayalah, walau bukan anggota multi-level marketing, saya berani menjamin kepada Anda bahwa menulis adalah pekerjaan yang bisa dilakukan oleh semua orang. Tak mengenal siapa Anda, apa latar belakang, maupun segala keterbatasan yang mungkin dianggap sering menghambat. Sebab menulis sama pula seperti keterampilan lain di dunia. Ia bisa dikuasai apabila memang sering dilatih. Ibarat ketika waktu bocah dulu, kita dengan gagapnya menaiki sepeda roda tiga dengan perlahan. Kemudian kita terus menggowesnya tanpa henti hingga kemudian berhasil beralih ke sepeda roda dua. Sampai ketika seseorang sudah sangat mahirnya, ia sampai bisa lepas tangan saat mengendarai sepeda. Itu semua bergantung dari seberapa tekun latihan yang dijalani.

Belajar menulis juga tak melulu harus didapat dan dipelajari dari seorang mahaguru sastra, jurnalis harian senior, dan lain sebagainya. Jika memang tujuannya belajar, ada banyak hal yang bisa dipetik dari banyak penulis lain sebetulnya. Sebab persoalan menulis tak melulu hadir dari satu genre yang kaku. Maka dari itu, sedikit menyimpang dari kekakuan yang selama ini saya dapat di bangku kuliah, dalam tulisan ini saya coba menghadirkan sebuah anjuran yang rasanya menyegarkan dari penulis komedi yang benar-benar produktif. Ia sering dianggap sebelah mata oleh beberapa penulis kaku karena model tulisannya yang dianggap sebatas haha-hihi semata. Padahal, penulis yang mengidolai Woody Allen ini, selalu mengolah dengan serius tiap tragedi komedi yang ada di tulisan-tulisannya.

Tanpa perlu panjang lebar lagi, saya merangkum beberapa anjuran menulis dari Raditya Dika yang saya himpun dari berbagai sumber, entah itu daring maupun dalam obrolan-obrolan di dunia nyata. Banyak hal yang akan menggugah kita pastinya agar kemudian menjadi lebih giat untuk menulis. 

1. Jangan Menunggu Waktu yang Tepat untuk Menulis

Kegemaran bangsa ini kita tahu adalah gemar menunda-nunda waktu. Tak hanya dalam menulis, dalam keseharian pun kita telah dibudayakan oleh kebiasaan mengulur waktu. Padahal, waktu adalah modal penting bagi siapapun yang memiliki cita-cita menjadi penulis. Sebab tentu, menulis bukanlah sebuah keterampilan instan seperti masak mi. Kita dituntut untuk bergegas karena mungkin akan ada banyak hal yang hilang dan terlewat jika kita tidak menyegerakan diri untuk menulis.

Seperti yang dikatakan Raditya Dika, "Kalau kita menunggu waktu yang tepat untuk menulis, yang ada kita malah nggak akan menulis." Yap, saya memaknai petuah sederhana itu dengan beranggapan bahwa kita adalah manusia yang sok sibuk sebetulnya. Akan selalu ada hambatan, entah itu penting maupun tidak, yang kemudian akan menggagalkan kita untuk mulai menulis. Maka dari itu menyegerakan diri untuk menulis adalah salah satu opsi penting yang bisa dilakukan untuk menghindari segala hambatan dari kebingungannya kita mencari waktu menulis.

2. Pentingnya Kegelisahan

Ketika kita sudah siap untuk memulai menulis, kadang ada satu hal yang sering menyulitkan kita untuk memulai tulisan. Halaman kosong yang ada di depan layar atau kertas putih yang berserakan di meja sering menimbulkan ketakutan tersendiri. Ketakutan itu muncul karena pada mulanya kita sering kebingungan untuk menulis apa. Beberapa di antaranya bahkan akan menyerah dan bertekuk lutut pada ketakutan itu hingga akhirnya tidak menulis-menulis.

Salah satu teknik, yang saya kira unik, berkali-kali dilontarkan oleh Raditya Dika tentang seberapa pentingnya peka terhadap kegelisahan diri. Sebab kegelisahan diri adalah sebuah proses perasaan yang begitu dekat dengan kita sebagai (calon) penulis. Setelahnya kita hanya perlu menuangkan kegelisahan yang ada pada sebuah tulisan. Tentu itu lebih mudah karena kita memiliki keterkaitan dengan kegelisahan yang dirasakan. Tak peduli bagaimanapun format tulisannya, sebab setelahnya kita hanya perlu belajar meramunya sedikit demi sedikit.

3. Menjadi Berbeda

Bagi Raditya Dika, akan selalu menjadi beban tersendiri jika kita menargetkan untuk menulis lebih bagus dari penulis yang lain. Persoalan menulis bagus memang persoalan penting dan rasanya setiap penulis memang harus menghasilkan tulisan yang bagus. Tapi sebentar dulu, bukan itu poinnya. Karena menulis bagus adalah ihwal dari seberapa jauh perjalanan kita menulis dan itu rasanya bisa dikejar ketika berproses nanti. Sedangkan menjadi berbeda, adalah tentang bagaimana tulisan dan juga tentang kita agar bisa lebih dilihat oleh (calon-calon) pembaca yang ada.

Maka dari itu personal branding kadang menjadi sebuah titik yang membuat tulisan menjadi lebih didahulukan untuk dibaca atau tidak. Ada keunikan dan kekhususan yang sulit bahkan tidak ditemukan pada orang lain hingga mau-tak mau tulisan kita lah yang akhirnya dibaca. Dengan menjadi berbeda kita akan memiliki ciri khas yang akan membenam di kepala pembaca. Namun perlu diingat, menjadi berbeda bukanlah menjadikan tulisan kita ngawur dan menyimpang begitu saja. Menjadi berbeda adalah perihal memiliki karakter.

4. Kolaborasi Bukan Kompetisi

Kolaborasi adalah kunci dari segala kejemuan yang sering kali banyak pekarya (entah itu penulis atau lainnya) hampiri. Persoalannya, kadang pekarya-pekarya yang bebal selalu kelihatan ingin lebih hebat di depan pekarya lain. Pada ujungnya, mereka malah melakukan persaingan. Mengadu karya satu sama lain tanpa adanya apresiasi di dalamnya. Padahal, untuk memajukan karya pribadi pun, kita tidak harus menjadi egois. Raditya Dika menjawab itu dengan kolaborasi-kolaborasi yang dilakukannya selama ini.

Dengan bekerja sama dengan pekarya-pekarya lain sesungguhnya kita akan semakin membuka peluang untuk semakin dilihat dan dikenal. Walhasil, itu akan berdampak pula pada efek yang mengena pada karya kita. Independensi dalam berkarya hanya akan menjadikan sebuah karya membatu di tempat yang sama. Tak banyak loncatan yang bisa dilaluinya. Maka dari itu, sebelum menjadi hancur dimakan kegoisan, sebaiknya pikirkan apa-apa yang bisa dilakukan bersama pekarya di sekitar kita.

5. Teruslah Menulis

Di poin ini bagi saya adalah sebuah penegasan bahwa untuk menghasilkan tulisan yang baik, ya, kuncinya hanya terus menulis. Seperti David Beckham yang terus menendang bola sampai akhirnya bisa menghasilkan tendangan bebas mematikan. Pun ibarat Agnes Mo yang terus memupuk teknik-teknik vokalnya hingga bisa mencicipi indahnya karir internasional. Mungkin jika Agnes Mo malas-malasan tentu ia tak akan bisa melesat sejauh itu. Paling-paling hanya ikut meramaikan acara musik di pagi hari.

Sebab menulis adalah sebuah fase maraton di kehidupan yang kita pilih. Jika Raditya Dika berhenti menulis setelah booming-nya Kambing Jantan, tentu pencapaiannya juga akan berhenti sampai di situ saja. Memaksa diri untuk terus menulis akan menantang kita untuk terus membuat pencapaian baru. Pencapaian yang akan membawa sebuah karya pada level-level yang terus meningkat, walau mungkin pada awalnya terlihat mustahil dan buram untuk diterka. Tapi, memang seperti itulah cara kerjanya. Semakin menantang diri pada pencapaian yang seolah mustahil, maka saat itulah kita telah berada satu langkah di depan manusia-manusia lain.

"Kalau mau jadi penulis harus banyak baca, harus banyak nulis. Itu aja dulu." -Raditya Dika

14 komentar:

  1. Thanks sudah di-share, Mas tips-tipsnya. Kebetulan lagi belajar nulis. Poin menjadi berbeda itu yang mesti dimunculin. Hehe.

    BalasHapus
  2. Raditya Dika memang orang yang kreatif. Dia yang pertama kali memperkenalkan penulisan Personal Literature di Indonesia *cmiiw

    Oh ya, Kegelisahan emang penting, karena dimulai dari situlah tulisan yang akan kita buat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, menarik. Jadi mau ngulik seputar Personal Literature.
      Thanks. :))

      Hapus
  3. Walah, tipsnya bagus ala Raditya Dika. Memang mahluk ini rada berbeda. Asoylah

    BalasHapus
  4. Sip. Menulis adalah soal gelisah.
    Kalau kata GM: seperti halnya membentuk sebuah cawan yang tak habis untuk dipakai, menulis pada dasarnya adalah pekerjaan yang resah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Goenawan Mohamad rule. :))
      Terima kasih sudah berbagi.

      Hapus
  5. Semangat yoo, jangan pernah takut kehilangan ide.. teruslah mencari kegelisahan :)

    BalasHapus
  6. terimakasih tips-tipsnya mas, sangat bermanfaat bagi saya penulis pemula, bahkan sangat pemula hehe.

    BalasHapus
  7. "Semakin menantang diri pada pencapaian yang seolah mustahil, maka saat itulah kita telah berada satu langkah di depan manusia-manusia lain." -Faisal Fathur
    Ntaap!

    BalasHapus