Sabtu, 11 Juni 2016

Menjadi Babi di Sepertiga Malam


Karyo berubah menjadi babi di sepertiga malam, saat di mana sebagian orang lain sedang bersujud dan memohon datangnya pundi-pundi materi. Ia gemar melakukan itu setelah dirinya terkena pemutusan hubungan kerja sepihak dari perusahaan otomotif di kawasan timur ibu kota. Karyo kesal mendapati dirinya diperlakukan semena-mena. Maka dari itu ia menjadi babi dan terus menyenangi kegiatan barunya itu sampai hari ini.
Mula-mula ia hanya perlu tidur beberapa jam agar kondisinya terjaga sampai dini hari tiba. Dengan begitu ia bisa menjadi babi yang lincah dan pergerakannya tak mungkin bisa dideteksi oleh siapapun. Karyo tinggal meringkuk di lantai dengan posisi kedua tangan di samping kuping serta bokong yang menjulang ke langit-langit. Setelahnya tinggal tugas sang istri, Sumidah, untuk menjaga pencahayaan di ruang ritual. Konon cahaya perlu tetap menyala agar sang babi mampu melihat dalam keadaan gelap sekalipun.
Ibarat babi kecil yang sedang kelaparan, Karyo berkelana dengan semangat berapi-api. Keempat kaki kecilnya, dengan tubuh hitam dekil, menelusuri jalan sampai pada perumahan mewah. Ketika menjajaki kakinya di depan pagar serta tembok yang menjulang tinggi, sang babi hanya perlu bergeser sedikit ke area yang dirasa strategis. Setelahnya ia tinggal menggesek-gesek bokongnya ke area strategis itu dan, tak berapa lama, sang babi sudah mampu menghimpun banyak uang pada kandung kemihnya.

Cerita Karyo yang menjadi babi itu aku dengar pertama kali dari seorang buruh muda yang juga di-PHK dari perusahaan otomotif tersebut. Para buruh memang sering berkumpul, apalagi sebagian besar di antaranya sudah mulai kehilangan pekerjaan. Kami saling berbincang satu sama lain untuk memantik kegelisahan yang selama ini dirasakan. Kadang di antara perbincangan esensial itu, terselip pula curahan hati seseorang serta cerita-cerita yang sulit dipercaya. Seperti cerita Karyo yang menjadi babi barusan itu.
Karena kegetiran yang semakin memuncak kemudian aku meminta Hasan, si buruh muda itu, untuk kembali menceritakan Karyo. Sembari mengajak buruh-buruh lain untuk menyimak, Hasan meneguk segelas kopi hitam lalu menyedot habis batang rokok terakhirnya. Sekiranya mungkin cerita ini akan menginspirasi banyak orang.
“Kau mesti ulang ceritanya dengan lebih bergairah, Bung!” Suprapto, seorang buruh tua, terlihat antusias di antara kerumunan buruh-buruh lain. Dilanjut dengan sahutan-sahutan kecil di sekelilingnya yang menginginkan cerita kembali dituturkan.
“Baiklah,” sahut Hasan, “Kau tahu, Karyo berubah menjadi babi di sepertiga malam, saat di mana sebagian orang lain sedang bersujud dan memohon datangnya pundi-pundi materi. Ia gemar melakukan itu setelah dirinya mendapat pemutusan hubungan kerja sepihak dari perusahaan otomotif di kawasan timur ibu kota. Karyo kesal mendapati dirinya diperlakukan semena-mena. Maka dari itu ia menjadi babi dan terus menyenangi kegiatan barunya itu sampai hari ini.”
Cerita terus berlanjut dan orang-orang menyimak dengan sangat syahdu. Hasan seperti seorang nabi yang ucapannya didengar oleh banyak kepala dan tak satupun dari mereka coba menyangkal. Mungkin harusnya dari dulu aku menyuruh Hasan menceritakan hal ini kepada rekan-rekan lain.
“Percayalah! Karyo hanya menggesek-gesekan bokongnya di kediaman makelar kelas kakap,” tutup Hasan begitu sugestif. Setelahnya aku tahu bahwa gairah dan perasaan yang berkecamuk di tiap buruh semakin menjadi-jadi. 
Terlebih sebentar lagi bulan empat akan berakhir dan momentum sudah semakin tercium bau kedatangannya. Sekian kepala yang berkumpul di sarekat itu lalu mulai membicarakan tetek-bengek yang paling ideal untuk dilakukan. Sebagian terlihat saling mendebat sembari tetap memaki para kaum kelas kakap. Sampai akhirnya kami sepakat untuk melakukan suatu hal. Sesuatu yang sejujurnya belum pernah kami lakukan bersama. 

*

Apa yang ditawarkan malam selain keheningan dan kesejukan duniawi? gumam Karyo dalam relung kecilnya. Sembari menelusuri kegelapan malam, tubuh mungilnya terus melenggok tak beraturan. Kalian tentu tahu, babi tak pernah taat aturan ketika berlari. Ia sesukanya melenggok ke kiri dan kanan jalan sambil menggoyangkan bokongnya sekaligus. Itulah alasan mengapa malam menjadi waktu esensial bagi setiap babi untuk segera pergi bebas.
Alkisah, baginya menjadi babi adalah cara paling brilian untuk melakukan pembalasan. Karyo sanggup memiskinkan para manusia kelas kakap dan membuat mereka merasakan apa yang dialami Karyo. Kemiskinan.
Di setiap ritualnya sebelum berubah menjadi hewan mungil itu, kalian mesti tahu, Karyo akan mengumpulkan segala amarah dan kekesalan yang telah menimpa dirinya. Sesaat ia hanya berdiam diri dan mengingat-ingat berbagai peristiwa yang lalu. Jika amarah sudah memuncak, Karyo bisa dengan cepat menjelma menjadi babi hitam yang mempesona.
Tentu Karyo paham bahwa babi sebetulnya adalah hewan yang menjijikan, bahkan dalam beberapa aliran ia pun dikucilkan. Tapi siapa peduli? Toh, ia percaya bahwa babi tetap binatang tercerdas di muka bumi ini.
Babi-babi yang dikucilkan tidak pernah berbuat kepalsuan seperti si kepala kakap. Mereka, si kepala kakap, dengan kepura-puraannya mengutarakan bahwa pabrik kini adalah tempat yang ramah lingkungan. Go Green. Halah, persetan! Karyo membenci slogan yang dikeluarkan pabrik-pabrik itu. Dengan santainya, mereka mampu merasa bangga bisa menanam satu pohon dan membuat seolah-olah peduli terhadap lingkungan. Padahal, sebelum itu ada ribuan pohon yang dihantam. Dihabisi masa kehidupannya.
Setiap langkah harus menjelma rasa kebencian. Atau minimal rasa kesal yang tak terbendung. Seperti, saat Karyo dalam langkah kecilnya, mengeluhkan jam kerja yang terlewat menjemukan. Menjadi babi tidak semenjemukan itu. Sebagai manusia biasa, ia merasa jemu dengan rutinitasnya di dalam pabrik sialan. Berhadapan dengan mesin dari pagi hingga sore hanya untuk memakmurkan salah seorang pihak. Ibarat saudara seperhewanan, Karyo adalah sapi perah yang terus dipenceti lubang susunya.
Belum lagi kesemena-menaan kepala kakap itu dalam memerintah. Ubun-ubun Karyo semakin panas mengingat semuanya. Tak ada seorang pun yang senang diperintah, apalagi diperintah dengan makian. Ketika menjadi manusia, kuping Karyo selalu pengang dengan semua celotehan yang ada. Namun, apa boleh buat, Sumidah mesti diberi makan tiap hari. Belum kandungannya yang akan berojol dalam beberapa bulan lagi. Karyo, dengan segala kepasrahannya, harus manut dengan sistem yang ada.
Kesadaran serta kebencian yang muncul dalam benak Karyo semata-mata hanya perasaan naturalnya setelah ia diberhentikan dari pabrik itu. Dari situ berbagai pergolakan mulai terasa sedikit demi sedikit. “Aku membenci mengapa baru menyadari semuanya sekarang. Apakah sebab jarakku yang begitu dekat dulu? Sialan. Aku baru sadar telah membuat barang-barang yang sebetulnya tak bisa aku miliki,” Kira-kira begitu yang diucapkan Karyo. Dalam langkah-langkahnya yang sulit diukur, sebentar lagi dirinya akan sampai di sebuah rumah yang menyerupai istana di cerita-cerita fantasi.
Bangunan yang tingginya menjulang itu sungguh menjengkelkan di matanya. Ia pun mempercepat langkah kakinya sedemikian rupa bak seekor babi yang hampir menemukan kitab di barat. Tak berapa lama, entah mengapa Karyo mendadak memperlambat langkahnya. Semakin melambat hingga akhirnya berhenti. Di depan matanya ternyata ada babi lain yang sedang menggesek-gesekkan bokongnya dengan begitu mempesona. Karyo kemudian mendekat. Ia seperti mengenal lenggak-lenggok babi tersebut.
“Hasan?” Sahut Karyo dari arah bokong si babi.

*

Sarekat buruh memutuskan untuk tidak melakukan demonstrasi secara terang-terangan hari itu. Kami merencanakan sebuah hal yang lebih keji dan mungkin tak terpikirkan oleh siapapun. Dari sekian banyak kepala yang berkumpul, kemudian kami dipasangkan dalam sebuah prosesi ritual. Satu orang bertugas meringkuk dan satu yang lain diwajibkan menjaga cahaya. Kami yakin ini akan menjadi pekerjaan yang menyenangkan.
Ketika menurut perhitungan waktu sudah memasuki sepertiga malam, sebagian dari kami menjelma menjadi babi hitam dengan lenggak-lenggok menggemaskan. Seperti saat peluit maraton dibunyikan, sepertiga malam menandakan pergerakan pertama dari para babi tersebut. Semuanya berlari dengan penuh amarah yang sulit dibendung.
Di antaranya terlihat mulai menggesekkan bokongnya di kawasan perumahan elit yang dipenuhi bos-bos kepala kakap. Pasukan lain juga tak mau kalah. Bagian pabrik-pabrik, terlebih yang telah menimbulkan kebencian dari para pekerjanya, juga digesek-gesekannya dengan sangat aduhai. Beberapa babi lain bahkan sempat membuang kotorannya di area-area yang pernah membawa kenangan buruk.
Keesokan harinya surat kabar tidak dipenuhi berita demonstrasi buruh yang kerap mendapat tradisi mengecewakan. Hari itu, surat kabar datang dengan berita-berita yang sanggup mengocok perut: Ditemukan Kotoran Babi di Kolong Meja CEO PT. X, Perusahaan Y Kebingungan Setelah Mendapati Modalnya Hilang, hingga judul-judul lain yang rasanya terlalu mengjengkelkan jika aku bagikan di sini.

***

10 komentar: