Minggu, 08 Mei 2016

Dari Juragan Haji: Pemantik untuk Lebih Sadar

Melihat ulang Juragan Haji.

“Allah selalu mendengar. Allah tahu yang terbaik. Allah memberi hikmah pada setiap kejadian yang menimpa kita. Percayalah pada Allah. Bila kita berbuat baik, tak ada yang lebih indah selain surga.” Kutipan menyejukkan itu berasal dari cerpen Darahitam, sedikit dari sekian banyak cerita Helvy Tiana Rosa dalam buku kumpulan cerpen Juragan Haji. Tidak perlu diperdebatkan lagi sebetulnya dengan gaya penulisan Helvy yang sangat kental dengan unsur-unsur keislaman. Dan sejatinya hal tersebut malah menjadi poin ciri khas Helvy yang membedakannya dengan kebanyakan penulis lain. Itu semakin diperjelas sebab dirinya pun termasuk dalam 500 The Most Influental Muslims in The World. Sebuah penganugerahan tokoh muslim yang tidak main-main.
Juragan Haji merupakan kumpulan cerpen yang seharusnya sudah tidak asing lagi bagi para penikmat sastra. Dahulu, kumpulan cerpen ini sempat diterbitkan dengan judul Bukavu oleh penerbit Lingkar Pena Kreativa dan mendapat penghargaan hingga masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award 2008. Entah bermaksud apa atau mungkin dikarenakan banyaknya peminat, maka pada 2014 penerbit Gramedia Pustaka Utama kembali memunculkannya dengan judul Juragan Haji. Walau sebetulnya agak disayangkan karena kita mengetahui bahwa Helvy adalah sosok penulis produktif yang begitu dielu-elukan karyanya. 

Dalam buku kumpulan cerpen Juragan Haji terdapat 17 kisah yang dibuat dalam kisaran waktu 1992 sampai 2005. Tulisan-tulisan Helvy dalam Juragan Haji begitu dekat dengan kejadian dan fenomena sosial yang berlatar hegemoni tahun tersebut. Kita bisa melihatnya mulai dari lingkup terkecil yakni masalah keluarga, hingga meluas ke dalam fenomena negara-negara besar di dunia. Setiap kisah yang tertuang di dalam buku tersebut tidak terlepas dengan pesan-pesan moral yang Helvy selipkan secara implisit. Tanpa melupakan sisi agamisnya, Helvy begitu idealis dalam mengisahkan tokoh yang muncul dalam cerpen-cerpennya. Begitu menyentuh kalau boleh dibilang. Mulai persoalan sosial, politik, kekuasaan, hingga kisah cinta yang rasa-rasanya sulit untuk dilupakan.
Kisah soal politik dan kekuasaan bisa kita temui pada Lelaki Kabut dan Boneka. Sebuah sindiran yang begitu keras akan pemerintahan di negeri ini yang Helvy kemas dengan cara-cara tidak lazim. Metafora yang digunakannya menandakan bahwa sang penulis juga peka dengan permainan kata-kata. 
Adapun Ze Akan Mati Ditembak! mengisahkan betapa kerasnya Timor-Timur dahulu ketika belum lepas dari Indonesia. Dituturkan dengan dramatis bagaimana pergolakan politik saat itu hingga pergolakan hati pada tiap tokoh yang membuat semua keadaan semakin terlihat rumit. Hal yang kemudian menjadi menarik adalah bagaimana sikap si tokoh ketika menemui latar peristiwa yang sedemikian mencekam.
Juragan Haji yang menjadi ikon buku ini datang dengan kisah juragan kaya dan seorang pembantu rumah tangga yang berkeinginan untuk naik haji. Di sini sang penulis mengemas seorang juragan kaya yang tak henti-hentinya pergi haji namun ibadahnya tersebut seolah tak berarti apa-apa. Ada kesia-siaan dari rukun ibadah yang sebetulnya esensial. 
Jika yang dicari adalah sebuah keunikan, maka cerpen Mencari Senyum perlu kita beri sedikit perhatian lebih. Dalam cerpen ini sebuah cerita dikembangkan Helvy dengan cara yang tidak biasa, yakni menjadi sebuah dialog-dialog drama antara beberapa pemuda dan lelaki tua. Sebuah keberanian menurut saya, karena jika penulis tidak lihai dalam menuangkan gagasannya, cerita ini sesungguhnya akan membosankan atau malah terkesan aneh.
Dari tiap halaman dan kisah yang dibuka, sang penulis selalu menyodorkan peristiwa-peristiwa dan fenomena yang lebih menarik dari kisah yang sebelumnya ia sajikan. Itulah saya yakin mengapa cerpen maestronya yang berjudul Jaring-Jaring Merah diposisikannya pada urutan paling akhir. Cerpen tersebut menceritakan bagaimana kehidupan perempuan Aceh yang terkekang dan seolah diposisikan selalu mendapat ancaman. Perlu diketahui fenomenalitas Jaring-Jaring Merah dikarenakan cerpen tersebut merupakan salah satu cerita terbaik yang dimuat pada Majalah Sastra Horison dalam rentan waktu satu dekade.
Masih banyak sebetulnya karya yang bisa dinikmati pada buku ini. Dari yang “gelap” hingga ke yang paling “terang” sekalipun. Cut Vi, Pertemuan di Taman Hening, Idis, Hingga Batu Bicara, Sebab Aku Cinta Sebab Aku Ingin, Peri Biru, Lelaki Semesta, Lorong Kematian, Titin Gentayangan, Pulang, dan Kivu Bukaku adalah tulisan lain yang tidak boleh lepas dari perhatian pembaca sastra.
Pada akhirnya, buku ini menekankan begitu banyaknya fenomena sosial yang luput dari perhatian kita. Kita  seolah lupa bahwa di dunia ini kehidupan selalu berlangsung bersama. Permasalahan yang diangkat menyampaikan kita pada satu titik untuk mungkin bisa sedikit lebih peka dan peduli dengan keadaan sekitar. Terlebih itu dilakukannya tanpa perlu terang-terangan membicarakan kesemrawutan yang ada. Cukup cerita-ceritanya saja yang bersuara dan menyadarkan kita akan pentingnya sebuah kesadaran.

6 komentar:

  1. Mantaf, mas. Omong-omong Helvy Tiana Rosa itu dosen UNJ kan?:p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, itu dosen favorit saya. *berharap postingan ini dilihat* :)

      Hapus
  2. setelah yang seksi-seksi, sekarang yang syar'i? menjelang ramadhan ya? wkwk

    BalasHapus
  3. emang ka Faisal ini tulisannya recommended banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berkenan mampir. Semoga tidak menyesal.

      Hapus