Kamis, 24 November 2016

Jalan Literasi Kita


Sepopuler-populernya teks bacaan ialah teks yang dibaca oleh banyak orang. Tere Liye adalah contoh satu kasus yang paling segar belakangan ini, berkaitan dengan popularitas berbagai novelnya yang telah dikeluarkan. Sebagai seorang penulis, dirinya baru saja menerima penghargaan Writer of The Year 2016 dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Tentu, prestasi yang berbanding lurus dengan visi penerbit populer yang ingin bukunya terus laku. Tak begitu mempersoalkan aspek kualitas sebab aspek nilai penjualanlah yang menjadi patokan utama. Tere Liye adalah gambaran tepat dan sangat sesuai dengan jiwa literasi kita belakangan ini.
Di era pascamodern, popularisasi literasi memikili persoalan yang sedemikian pelik. Ia tak cukup dibicarakan sebatas agenda penyebaran slogan baca-tulis ke pelosok-pelosok wilayah. Dalam dunia yang batas-batasnya telah sedemikian bias, tabrakan-tabrakan antar kultur yang terus terjadi, hingga kemungkinan lain, tentu popularisasi literasi mesti dihubungan dengan berbagai aspek kehidupan. Belakangan, praktik industrialisasi sastra dan pergelutannya dengan berbagai budaya populer menjadi topik hangat untuk menyinggung semangat menyemarakkan tradisi baca-tulis yang mulai terlihat gamang.

Menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2009, budaya membaca Indonesia dikatakan paling rendah di antara 52 negara di wilayah timur Asia. Namun, mengapa sastra populer hingga hari ini kerap terjual laris di berbagai toko buku? Bukankah itu menunjukan masih banyaknya orang-orang yang berliterasi di negeri ini? Pun di lain hal persoalan ini sekaligus menunjukan dikotomi, bahwa apakah suatu kegiatan literasi baru bisa dikatakan literasi jika dihubungkan dengan teks-teks adiluhung bermutu tinggi dan mengabaikan kegiatan yang bersangkut-paut pada bacaan populer?
Kapitalisasi dalam Literasi
Popularisasi literasi dalam kaitannya dengan penyebaran semangat baca-tulis beriringan dengan semangat kapital yang ingin menjual sebanyak-banyaknya buku dalam waktu singkat. Tentu, untuk mewadahi spirit literasi perlu objek paling konkret yang tak lain adalah buku itu sendiri. Sayangnya, kebutuhan masyarakat akan buku kemudian dipelintir serta dipermainkan oleh para industrialis buku yang menjelma dalam wujud penerbit sastra populer. Penerbit sastra populer belakangan kian ramai dan terus menguasai arena pertarungan literasi yang semakin membingungkan.
Praktik industrialisasi telah menjadikan karya sastra sebagai komoditas. Dalam Kebudayaan Populer (di Sekitar) Kita, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa dalam praktik tersebut nyatanya sastra tidak diperlakukan istimewa. Ia dianggap sama saja dengan barang dagangan lain yang harus sebanyak-banyaknya diproduksi dalam waktu sesingkat-singkatnya. Karya sastra kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga mudah diproduksi dan disebarluaskan secara teratur. Pun, dengan itu berbagai penerbit rupanya terus berupaya mencari penulis yang berpotensi melanggengkan misinya tersebut.
Di lain hal, praktik tersebut juga didukung akibat konsumerisme yang timbul dari masyarakat urban perkotaan. Dahulu, masyarakat yang pada mulanya terdidik dengan pola pedesaan melakukan urbanisasi dan menjadi masyarakat kota. Sekalipun dalam jiwa sosialnya, mereka tidaklah benar-benar menjadi masyarakat perkotaan yang siap menerima berbagai budaya serta bacaan-bacaan tinggi. Jadilah kaum urban terjebak di antara tercerabutnya jiwa pedesaan dan belum sampainya pada kehidupan masyarakat kota. Sebab itu, untuk memenuhi hasrat konsumsi bacaan, kaum urban mencari teks yang sesuai dengan tingkat keterbacaan mereka. Sastra populer lah yang menjadi alternatif solusi pada akhirnya.
Adapun nelangsanya kapitalisme dalam jagat literasi kita tak lain adalah sebab arus kapital telah menghadirkan penyeragaman selera bacaan. Penyeragaman selera bacaan semakin membuat popularisasi literasi bak pabrik ponsel yang mengedarkan modul penggunaannya secara massal. Ia tak menawarkan apa-apa selain kejemuan dan penunjukan gaya monoton. Pun penyeragaman tersebut memang terlahir dari keinginan berbagai media yang menghendakinya. Penerbit, sebagai sebuah raksasa perbukuan, hanya menerbitkan karya-karya yang sesuai dengan selera pasar. Dalam hal ini menyangkut apa yang dibaca banyak orang hingga muaranya dalam pembentukan tren bacaan. Lihat saja bagaimana banjir romansa dalam rak-rak buku laris kita adalah bukti nyata dari fenomena tren mengikuti arus utama.
Muaranya, dibanding menyuplai berbagai bacaan yang layak kepada masyarakat, penerbit populer lebih memilih melakukan berbagai cara untuk meningkatkan data penjualan mereka. Dilakukannya berbagai upaya untuk memuluskan langkah itu, semisal melakukan acara temu-sapa yang alih-alih membahas konten buku malah lebih menjadi acara pengagungan terhadap salah seorang penulis. Penulis pun rela mengecap identitasnya demi mencapai persona khusus yang dicintai massa. Terlebih, semua itu semakin didongkrak dengan adanya media sosial yang dapat dengan seketika memunculkan idola-idola baru.
Tentu, terlalu naif memang jika menganggap sastra populer telah menghegemoni literasi bangsa ini secara menyeluruh. Nyatanya memang masih terlihat pegiat-pegiat sastra “serius” di sekitar kita, sekalipun perlu diakui bahwa peminatnya masih terbatas pada kalangan tertentu saja. Berkenaan dengan hal popularisasinya, sastra populer unggul dibanding sastra serius berkat keringanan persoalan yang dihadirkan. Sastra serius kerap kalah bersaing karena banyak dari masyarakat yang menjadikan bacaan sebatas pelarian yang menghibur, bukan bacaan yang menuntut berpikir ulang dan membongkar persoalan yang termaktub di dalamnya. Adapun kita mesti terbuka, sebab di luar dikotomi sastra serius dan sastra populer, ada banyak tantangan lain yang mengiringi munculnya kegamangan dalam melanggengkan popularisasi spirit baca-tulis.

Di Antara Berbagai Tantangan
Televisi, radio, komputer, ponsel pintar, konsol permainan, taman hiburan, pusat perbelanjaan adalah bagian dari budaya populer yang dikatakan Dominic Strinati dalam Popular Culture. Di era ini, tantangan popularisasi literasi menjadi semakin kompleks sebab tradisi baca-tulis mendapat gempuran dari berbagai opsi budaya pop yang juga tak kalah digandrungi. Untuk melihat fenomena ini memang kita dapat menelusurinya dalam pembabakan di tiap generasi yang berbeda.
Generasi Y (millenials) dan Z (centennials, beberapa menyebut iGeneration) dapat dikatakan sebagai konsumen budaya populer, terutama teknologi, yang paling besar. Generasi sebelumnya, seperti Baby Boomers dan generasi X tak begitu terombang-ambing dan terpesona akan pilihan yang beragam seperti sekarang. Baby Boomers lebih menyiapkan suatu keluarga pasca perang dunia kedua, sedangkan generasi X memang menjadi saksi awal berbagai penemuan dan inovasi teknologi, tetapi baginya teknologi masih sebatas barang mewah yang menyilaukan. Generasi X dikatakan lebih berkutat pada etos kerja yang sedang menggelora. Pada hari ini, kedua generasi itu sudah dianggap tua dan mapan.
Berhubungan dengan konsumsi teknologi, generasi Y dan Z adalah dua generasi utama yang menyenanginya. Generasi Y, yang lahir sekitar 1981-2000, dan generasi Z (setelah 2000-an) pun terlihat sebagai generasi yang adiktif terhadap wujud visual. Terlihat bagaimana pengguna konsol permainan, permainan daring, penonton YouTube, penggelut Instagram, kebanyakan berasal dari dua generasi tersebut. Walau, dalam pembahasan lain seperti yang diulas New York Times, anak-anak centennials kenyataannya lebih tak bisa lepas dari gawai dibandingkan millenials.
Serangan budaya populer seperti memaksa generasi “kekinian” untuk masuk ke dalam persoalan distraksi ruang dan waktu. Dalam 24 jam, kita mesti mencacah waktu-waktu itu untuk mengisi ruang yang ingin diisi. Seseorang bisa saja membaginya dalam porsi aktivitas yang adil, walau dalam perwujudannya terlihat cukup muskil. Sebab itu, dari sekian banyak aktivitas populer yang mungkin dilakukan, seberapa banyakkah porsi waktu yang tersedia untuk ruang-ruang aktivitas literasi kini?
 
Maka dari itu, dalam dunia masa kini yang dikatakan Jean Baudrillad sebagai dunia hiperrealitas, kita mestilah memikirkan suatu cara popularisasi literasi yang tak lagi konvensional. Mestilah ditempuh upaya yang mampu membuat bacaan berkualitas bersaing ditengah pergolakan teks sebagai komoditas, pertarungannya di antara yang adiluhung dan picisan, hingga mengisi ruang di antara waktu-waktu yang sudah sedemikian ramai dengan gejolak budaya populer. Jika tidak, mari relakan bahwa cukuplah sastra populer yang menjadi pewaris garda terdepan jalan literasi kita.

*esai ini mendapat penghargaan sebagai juara pertama pada lomba esai G-Sastrasia 2016 bertema "Popularisasi Literasi" yang diselenggarakan oleh BEM Prodi Sastra Indonesia UNJ.

2 komentar: