Kamis, 01 Desember 2016

Yang Kuliah, Lalu Berdiskusi

Diskusi buku kumpulan cerita Desas-desus Tentang Kencing Sembarangan
di ruang sekretariat Pusake Betawi UNJ bersama Irsyad Ridho, Niduparras Erlang,
Amar Ar-Risalah, dan Putera Sukindar.

Universitas sebagai tempat bergumulnya pemikiran mestilah jadi tempat paling ideal bagi siapapun pegiat akademis untuk berkembang. Bukan semata-mata lekas mengejar gelar, lalu lulus menjadi makelar. Namun lebih berupaya memanfaatkan ruang-ruang pemikiran semasa kuliah demi menajamkan penalaran. Siapapun yang menempa ilmu di universitas seyogyanya sadar akan fungsi dirinya bisa berada di sana. Mahasiswa, juga tentu mafhum bahwa persoalan dialektika tak melulu mesti hadir di ruang kelas.
Beruntung, kehidupan seperti itu masih terlihat nyata di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sekalipun tidak banyak, ruang-ruang diskusi masih memiliki peminat di kampus tersebut. Sebut saja apa yang dilakukan organisasi mahasiswa di bawah naungan universitas, semisal LPM Didaktika, Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM), dan Pusake Betawi UNJ. Hingga perkumpulan lain yang muncul atas inisiatif mahasiswa sendiri seperti Solidaritas Pemuda Rawamangun (Spora), Serikat Mahasiswa Perubahan (Semeru), Komunitas Tembok dan beberapa lainnya.
Didaktika dan LKM, sebagai organisasi terlama sekaligus mendapat banyak bantuan dana dari universitas, rutin mengagendakan diskusi yang dapat diikuti oleh anggotanya hingga khalayak luas. Seperti pada Jumat (25/11), LKM mengadakan acara Ocehan Tak Sejenak dan menghadirkan Bandung Mawardi untuk membincangkan buku Pesan dan Godaan Buku di Lembaran Masa Lalu. Di lain waktu, kedua organisasi tersebut juga kerap melakukan diskusi mingguan yang sering kali membahas isu sosial, politik, hingga pemikiran tokoh-tokoh yang lekat dengan pembelajaran mahasiswanya sendiri.
Di waktu dan tempat lain, organisasi yang belum lama berdiri yakni Pusake Betawi, juga mencoba rutin untuk membuka ruang-ruang diskusi di universitas. Belum lama, bertempat di ruang sekretariatnya, Pusake Betawi mengadakan diskusi santai untuk membedah buku kumpulan cerita pendek Desas-desus Tentang Kencing Sembarangan, buah karya mahasiswa yang berasal dari Komunitas Tembok. Pun, itu sekaligus menunjukan bahwa untuk menciptakan ruang-ruang diskusi yang menyenangkan di kampus setiap perkumpulan dapat saling bergandengan tangan dan berkolaborasi.
Lain cerita bagi sekumpulan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial yang terlihat berdiskusi ala kadarnya di kampus. Di bawah bendera Spora, mereka sering kali beradu gagasan secara santai di Teater Terbuka. Ditemani segelas kopi dan beberapa camilan kecil, tak ayal apa yang dibahas para mahasiswa nyatanya dapat menyinggung hal-hal besar. Mereka dengan kritisnya rutin membincangkan topik-topik seperti: carut-marut sistem pendidikan, kebobrokan kapitalisme, hingga persoalan-persoalan sosial lain yang lekat dengan kenyataan.
Adapun ruang-ruang diskusi yang muncul itu seperti alternatif ketika ruang kelas tak kunjung menyajikan sesi diskusi yang menyenangkan. Kurikulum yang seperti memaksa mahasiswa untuk menyukai suatu topik, beban tugas yang melimpah, hingga apatisnya beberapa mahasiswa lain dalam merespon persoalan. Sebab itu, perkumpulan kecil di luar kelas setidaknya dapat menjadi opsi ketika ruang kelas mulai menghadirkan kejemuan dalam praktik pembelajarannya.
Sekalipun memang setiap mahasiswa kini tak melulu perlu menyesaki ruang pengap untuk bisa berdialektika, menerjang panas dan hujan untuk mengutarakan gagasan-gagasannya, atau bermacet-macet di jalan agar segera bisa datang ke kuliah umum. Masa kini, lewat media sosialnya, terlihat mahasiswa dapat lebih fleksibel untuk berjejaring dengan sesamanya. Pola baru itu yang kini juga terlihat dalam mewujudkan gerak-gerak diskusi yang lebih virtual.
Seperti yang diinisiasi oleh mahasiswa program studi Pendidikan Sejarah ketika membentuk Historypreneur yang rutin membahas persoalan serta gejolak sejarah dalam grup media percakapan LINE. Dengan demikian, diskusi dapat berlangsung secara manasuka sesuai dengan minat tiap mahasiswa pada suatu topik. Sekaligus itu menghadirkan keuntungan lebih sebab pelbagai gagasan yang diutarakan langsung terjejer dalam medium percakapan yang setelahnya dapat dengan mudah direkap.
Tentu, itu semua sekadar menunjukan bahwa banyak ragam diskusi yang menghiasi kehidupan perkuliahan di Universitas Negeri Jakarta. Sedikit mengutip kata Pramoedya Ananta Toer, bahwa seorang yang terpelajar haruslah sudah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Ruang-ruang diskusi yang cukup tersebar sekiranya dapat menjadi pemantik bagi mahasiswa untuk mulai kembali menggalakkan diskusi. Setelah itu barulah mahasiswa dapat menyombongkan diri akan berbagai aksi yang kemudian dilakukannya. Sebab mereka telah mendapat paket lengkap dalam berdialektika: dalam dan luar kelas.

2 komentar: