Jumat, 16 Desember 2016

Hidup Bersama Hoax


Mulai bangun tidur hingga kembali terlelap kita digempur dengan berbagai narasi. Media massa menyiarkan pemberitaan setiap saat, orang-orang saling bercakap tiada henti, pun buku, pamflet, radio, televisi, brosur, iklan, dan selembaran lain yang kita temui di jalan menunjukan bahwa persebaran informasi terus bergulir tak kenal lelah. Terlebih di era internet saat ini, kecepatannya terkadang malah semakin memunculkan dilema: apakah kita mesti percaya dengan informasi ini atau sebaliknya?
Sudut pandang penafsiran yang dilematis seperti itu kerap berujung pada upaya mengamini beragam informasi hoax. Hoax bekerja dengan cara yang sebetulnya terpola, seperti upaya menceritakan suatu gambar antah berantah dengan peristiwa yang seolah merepresentasikan kejadian di gambar tersebut. Tentu kisah yang dipaparkan pun ditambah dengan berbagai kisah lain yang terkadang bersifat menyentuh perasaan, mengiba, fitnah, dan sebagainya. Selanjutnya, tinggal bagaimana upaya menghegemoninya dengan cara penyebaran yang sistematis pula. Entah berwujud spam di media sosial, peran para buzzer yang dibayar untuk menyebarkan kebohongan, serta memanfaatkan kelalaian netizen sendiri dalam mengkonsumsi media-media yang tersebar.

Nelangsanya, para anak muda masa kini, yang termaktub dalam generasi millenials dan centennials, meski menghadapi problem dilematis itu. Kini para pemuda tak bisa semata-mata menyuarakan diri sebagai agen perubahan jika berbagai informasi yang dikonsumsi nyatanya hanya sebuah hoax belaka. Tentu apa yang disuarakan nanti tak lain adalah cerminan menuju perubahan ke arah yang tak semestinya. Juga sebab itu tak perlu muluk-muluk berdemo menuntut permasalahan di pemerintahan, kampus, dan tetek-bengek lingkungan lain cepat beres jika para pemudanya masih keblinger dalam menghadapi informasi. Sebab rasanya penting untuk terlebih dahulu meninjau informasi dibanding gegabah untuk segera aksi.
Saat ini kita dapat menyaksikan persebaran informasi berlangsung sangat urakan. Terlebih bagi para pemuda yang akrab dengan internet, media sosial nyatanya menunjukan berbagai kemungkinan hoax yang cukup kompleks. Di Facebook, setiap hari orang dengan bebas membagikan berita begitu saja, mengomentarinya, lalu menganggap itu sebagai kebenaran yang nyata baginya. Broadcast message entah melalui Blackberry Messenger, Whatsapp, atau media percakapan lain juga menghadirkan persebaran informasi masif yang terkadang masih patut dipertanyakan. Tengok saja bagaimana peristiwa pilpres lalu, tragedi bom Sarinah, hingga pertikaian di Timur Tengah belakangan.
Dalam serangan informasi yang begitu melimpah kadang rasanya memang sulit memilah mana yang riil dan mana yang bukan. Dalam sekejap, hoax mampu menggejala dan terlihat seperti fenomena betulan. Begitu pula sebaliknya, kita seolah telah terjebak di arus informasi sehingga kerap terburu-buru dalam menyimpulkan suatu hal. Media mainstream yang mulai mengejar kecepatan dibanding ketepatan kadang juga sulit untuk diharapkan. Apalagi jika coba mengamini riset psikologi Robert Feldman dalam Journal of Basic and Applied Psychology yang menunjukan bahwa 60 persen dari masyarakat nyatanya kerap menyisipkan kebohongan dalam percakapannya. Seolah hoax adalah bagian yang begitu dekat dengan kita.
Sekalipun demikian, dalam percakapan sehari-hari hoax memang mengambil porsi esensial dalam kehidupan siapapun. Ia berlangsung dalam metode yang sangat klasik yakni getok tular, atau kita lebih mengenalnya dengan istilah gosip. Sejatinya bergosip di dunia nyata menawarkan sesuatu yang tak kalah mengerikan dibandingkan gosip-gosip di jagad maya. Percakapan antar satu orang ke orang lain tanpa disertai dengan sumber yang valid hanya akan menggiring pada hadirnya distorsi hingga degradasi makna informasi. Terlebih apabila percakapan itu terus berlanjut ke banyak orang lagi.
Tentu tak terbayang apa yang akan terjadi di masa depan ketika bias-bias informasi akan mencapai titik yang semakin kompleks. Kita akan semakin sulit membedakan mana yang benar dan bohong. Kemajuan zaman yang tak disertai dengan kemajuan cara berpikir hanya akan menjadikan sebuah generasi yang gemar menghamba pada alat. Sebab teknologi yang memanjakan hanya akan menghasilkan pribadi yang malas berpikir. Pribadi yang malas berpikir tentu akan memunculkan generasi yang kehilangan akal kritis. Dan, tak ada yang lebih mengerikan kemudian saat secara tidak sadar masyarakat mulai dikontrol oleh segelintir pihak yang mengatasnamakan kemajuan zaman. Rasanya berbagai kebohongan akan mudah dilegitimasi sebab suatu masyarakat hanya manut pada suatu sistem yang sedang berkuasa. 
 
Memahami Informasi sebagai Kunci
Memulai dari pemahaman sederhana akan pentingnya memahami informasi sepertinya lebih realistis untuk diterapkan dibanding terlalu muluk mengharapkan suatu generasi mendadak menjadi agent of change. Bagaimana cara kita mengolah informasi secara kasat mana menunjukan bagaimana cara pikiran kita bekerja. Menerima informasi berarti membuat kita bersiap untuk mengambil konklusi dari suatu pemahaman, konsep, atau bentuk yang sebelumnya terkesan abstrak. Coba kembali melihat pentingnya menyerap sebelum berucap membuat kita seharusnya bisa lebih hati-hati ketika berhadapan dengan informasi.
Memahami cara kita mengolah informasi tentu ada banyak cara. Satu yang cukup sederhana untuk dapat dipahami adalah sistem semiosis penanda (signifiant) dan petanda (signifie) yang diutarakan oleh Ferdinand de Saussure. Singkatnya, penanda dapat diartikan sebagai suatu informasi yang diterima, sedangkan petanda adalah bagaimana cara kita menafsirkannya. Dalam penafsiran, tentu ada peran konvensi sosial yang sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan orang akan satu hal. Bahayanya, jika suatu sistem sosial telah terbudaya dengan fenomena hoax, rasanya hampir bisa dipastikan bahwa masyarakat secara umum akan percaya dengan hal tersebut.
Dengan demikian semestinya kita mampu sadar bahwa berbagai informasi yang kita serap nantinya akan berubah menjadi bahan bakar kita untuk bergerak melakukan sesuatu. Pergerakan yang dilandasi dengan pemahaman tentang informasi yang keliru tentu sangatlah berisiko. Bukan hanya untuk pribadi yang bersangkutan, tetapi juga untuk orang-orang yang hidup di sekitarnya. Sebab semua itu akan berhubungan dengan rangkaian sistem sosio-kultural secara berkesinambungan. Sebagai pemuda, kita dapat mencederai pihak yang sejatinya tak perlu dicederai. Dalam konteks yang lebih luas, semua itu dapat menghadirkan konflik yang mestinya sejak awal sudah dapat kita hindari.
Satu upaya yang dapat dilakukan adalah kembali menahan diri untuk tidak bernafsu lebih. Sikap terburu-buru dalam merespon satu fenomena, melihat berita, mendengar kicauan, dan hal lain sebagainya hanya akan menghasilkan keteledoran di berbagai kegiatan lain pula. Kita bisa terperosok pada kesimpulan yang keliru, kebablasan menyebarkan sesuatu yang tidak perlu, yang pada akhirnya akan merepresentasikan suatu generasi yang terlihat bodoh dalam memanfaatkan nalar. Besar harapan dari sikap menahan diri itu adalah agar mampu mewujudkan generasi pemuda yang dapat memegang kendali baik di masa depannya.
Tak lupa pula selalu memperbanyak verifikasi dan menyerap ilmu demi mengasah cara bernalar yang tidak statis. Kemajuan zaman, yang di dalamnya menganut penyederhanaan dan berpatokan pada efektivitas dan efisiensi semata, hanya akan membuat kita gemar berpikir praktis, keras kepala, dan sulit menerima perbedaan konsep informasi yang cenderung bertentangan. Di tengah zaman yang semakin sulit ditafsirkan ini, yang menurut Umberto Eco sebagai wujud hiperrealitas, para pemuda mesti kembali menyelami informasi sedalam dan seluas-luasnya. Pun sekaligus mengamini perkataan Bung Karno untuk jangan sekali-kali coba melupakan sejarah.
Jika tidak, masa depan yang semakin penuh tantangan hanya akan membawa kita pada berbagai kebobrokan yang tak terelakkan. Masa depan yang mestinya dapat dikontrol oleh para pemuda di masa kini, berubah menjadi masa depan yang hanya dipenuhi dengan pemujaan terhadap benda-benda. Para pemuda akan mulai membenarkan sesuatu yang dianggap salah, lalu melegitimasi segala kesalahan atas nama berbagai hal. Sejak saat itulah mungkin kita dapat mengatakan bahwa kehidupan tengah berlangsung di antara dinding-dinding hoax. Kehidupan yang sebetulnya tidak pernah kita idam-idamkan.

*esai ini mendapat penghargaan sebagai juara pertama pada lomba esai Olimpiade FBS 2016 bertema "Harapan Pemuda Bangsa Kini dan Nanti" yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Bahasa dan Seni, UNJ.

2 komentar: