Sabtu, 10 Oktober 2015

Menimbang Museum Hujan: Antara yang Subjektif dan Objektif

Puisi harus berterima, atau setidaknya memiliki makna yang mampu diterka, ujar Saini K.M. dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993). Ia melanjutkan, dengan  begitu puisi sebagai media komunikasi menjadi benar komunikatif adanya. Penyair yang telah mengkristalkan pengalamannya pun alhasil tidak sia-sia setelah berusaha. Begitu pula dengan pembaca yang perlu meluangkan waktu sesaat untuk kemudian membaca. Tentu, siapa di dunia ini yang menginginkan kesia-siaan?
 
Itu pula harapan yang saya emban ketika pertama kali disuguhkan Museum Hujan. Buku kumpulan puisi karya Nur Hawatip, yang diterbitkan pertama kali oleh Teras Budaya Oktober 2014 silam. Sebagai buku puisi, yang peminatnya tak seheboh prosa semisal cerpen dan novel, Museum Hujan ibarat oase di padang pasir. Menyegarkan, di saat gempuran novel serta kumcer sangat marak di toko buku. Hal ini kemudian akan semakin menyegarkan apabila saya juga benar mampu memahami apa-apa yang terdapat pada buku puisi tersebut. Tak sebatas hanya pemanis jiwa, namun lebih ikut memahami serba-serbi hal yang coba Watip tawarkan.

Menyoalkan pada pemahaman akan puisi berarti menyangkut pada dua hal mendasar kiranya, yakni (1) persoalan bagaimana sang penyair menghadirkan puisi yang berterima, serta (2) persoalan bagaimana usaha sang pembaca dalam menyejajarkan diri dengan pengalaman penyair. Untuk poin pertama, itu bergantung pada bagaimana sang penyair mengolah dan memekatkan pengalamannya menjadi puisi. Yang mana subjektivitas dan objektivitas menjadi dua opsi penting menyangkut pertimbangan sang penyair dalam mengangkut gagasan-gagasannya. Sedangkan poin kedua menjadi lebih beragam dan sulit diperinci karena lingkupnya ada pada pembaca, yang mungkin seharusnya juga bertugas memperkaya pengalaman sembari menjelajah bacaan.
 
Dalam Museum Hujan, yang seperti pada kata pengantarnya, yakni menawarkan banyak tema dan pokok persoalan adalah sebuah kekayaan yang bagi saya patut diapresiasi setinggi-tingginya. Ciri khas penyair memang demikian, walau tak banyak orang yang bisa sepertinya, ia ternyata mampu merangkum sekian banyak pengalaman hingga menjadi sebuah rekam jejak dalam artian ini puisi. Kelebihan seperti itu hanya dimiliki oleh manusia-manusia dengan sensitivitas yang kuat. Dan di antara sekian yang tak banyak jumlahnya itu, Watip lah salah satunya.
 
Baru setelah mengetahui beragamnya pokok persoalan yang penyair tawarkan, kini saya mulai coba memahami lebih mendalam apa saja hal yang telah diutarakan itu. Dalam hal ini hubungan antara penyair (yaitu Watip) dan pembaca (yaitu saya) mulai diuji kecocokannya. Sebagai penyair, Watip mempertaruhkan sekian banyak pengalamannya untuk bisa dirasakan bersama. Dan saya sebagai pembaca, apakah sudah memiliki pengalaman yang sepadan untuk merasakan puisi-puisi yang ada?
 
Maka dari itu, menimbang segala kemungkinan dari pengalaman puitik menjadi penting kiranya. Dua hal yang bisa kita garis bahawi adalah persoalan subjektivitas dan objektivitas tadi. Penyair yang puisi-puisinya berasal dari pengalaman pribadi tentu tidak boleh semaunya jika karya-karyanya ingin dicap berterima. Unsur subjektif menjadi wajar apabila hanya berpijak pada tahap kemunculannya ide, emosi, ataupun pengalaman semata. Dan dari titik itu, penyair, seperti yang disarankan Saini K.M. juga, sebaiknya mulai mengolah bahan-bahannya dengan sisi yang objektif. Sebab, bila sang penyair mengolah berdasarkan subjektivitasnya, maka bisa dicurigai puisi tersebut akan menjadi ladang obskur. Dimana puisinya dipandang sebagai sesuatu yang samar, tidak jelas, bahkan gelap hingga sulit diterka.
 
Agaknya, dengan porsi pengalaman dan ceruk yang begitu banyak, Watip sempat terkelabui dengan pengalaman puitiknya sendiri. Dari sekian banyak yang dihadirkan menyangkut kepedulian, kasih sayang, kesepian, ketuhanan, hingga keseharian, penyair sempat terseok pada subjektivitas. Walau kiranya saya menganggap itu hanya bagian dari obsesinya terhadap suatu detail persoalan. Karena jika diamati lebih lanjut, itupun adalah bagian yang sebetulnya benar-benar kecil bak titik jerawat pada remaja yang sedang puber.
 
Seperti bagian pada puisi Instagram (hlm. 4) kita lihat: Kaujadi anak-anak/ Ketika telusuri trotoar tua tanpa cahaya/ Wangimu terseok udara dingin dari pelabuhan/ Bersama siul langit senja dan sunyi palka kapal. Bagi saya, agak samar apa yang ia bilang tentang Instagram. Jika mengacu pada wawasan umum yang mana Instagram adalah ladang foto di media sosial, tentu apa-apa yang diutarakan dalam puisi tersebut nyatanya hanya perintilan kecil. Anak-anak, trotoar tua, hingga pelabuhan rasanya masih tercakup lambang yang subjektif. Sehingga citra yang muncul akhirnya tak membuat kesan greget. Adapun pada Sajak Januari (hlm. 5) terlihat coba menunjukan sebuah hubungan yang awal-awalnya malah terkesan samar: Kautanya ke mana kucing kita,/ sejak kemarin belum terlihat di sekitar meja makan/ padahal ia setia menunggu tulang ayam/ juga sisa obrolan di meja makan/ tidak ada tanda tanya usai kata,/ yang ada tawa kecil kecup hangat/ senja jelma aksara.  Entahlah, sebab memang begitu cara kerja puisi, selalu butuh usaha lebih untuk menafsirkannya.
 
Namun tak melulu kita harus mengamini bahwa subjektivitas adalah kekeliruan dan tak baik. Karena tafsiran subjektivitas puisi Watip pun berasal dari pemikiran-pemikiran saya yang sebetulnya subjektif. Walau itu juga dilandasi dari bacaan-bacaan yang sebelumnya cukup memengaruhi. Atau mungkin bisa jadi karena memang pengalaman-pengalaman saya yang belum sepadan dengan pengalaman puitik yang penyair hidangkan maka terjadilah miskonsepsi. Walau begitu, sekiranya kewajaran objektivitas dalam Museum Hujan masih tetap menjadi hal yang didominankan. Sebagaimana sang penyair mengolah pengalaman pribadinya menjadi sebuah sajian yang mampu dirasakan bersama. Bagian subjektivitas adalah pelengkap yang sebetulnya justru menyempurnakan. Ibarat sebuah gading gajah, retakan-retakan yang melekat padanya justru membuat benda tersebut terlihat makin indah. Begitulah puisi Watip dengan segala keberagamannya. Ia berupa puzzle yang hakikatnya saling melengkapi.
 
Janur kuning diperlihatkan di rumahmu/ Bendera kuning terlihat di rumahku. Begitu puisi Patah Hati (hlm. 46) sebagai salah satu wujud objektivitas yang tentu lebih merepresentasi sisi yang lebih jernih bukan? Ada lagi puisi Tuhan pada makan malam kita. (hlm. 78): Tuhan pada malam kita/ dia ada di antaranya/ di sela-sela suara gesek biola pengamen/ dan detak denyut nadi. Adakah yang meragukan kenikmatan saat memahaminya? Bagi saya, itu adalah sebuah tanda kehadiran Tuhan yang begitu dekat. Alhasil memang benar bila objektivitas akan membawa pada tingkat komunikatif yang lebih tinggi. Dengan catatan akan berujung pada perenungan-perenungan yang sekiranya membawa manfaat, tak sekadar nikmat.
 
Dalam hakikatnya juga, membaca Museum Hujan dapat kita umpamakan sebagai kemungkinan memahami langkah panjang sang penyair dalam proses kepenyairannya. Di dalamnya bisa dibilang sebagai otokritik yang mana serba-serbi kehidupan penyair begitu menampilkan keberagaman dan juga kedekatan. Serta kemungkinannya dianggap sebagai sebuah tawaran akan bertumpuk dan saling libasnya pokok-pokok tema yang seperti dibilang kata pengantarnya, “seolah saling membunuh”. Museum Hujan dengan segala ragam subjektif maupun objektifnya, menjadi sebuah keuntungan pembaca yang bisa melihat racikan puisi Watip dari segala sisi. Keduanya merupakan sebuah representasi dasar manusia yang begitu sering berkutat pada hal-hal paradoks.
 
Walhasil tugas Watip sebagai penyair, dan juga saya sebagai pembaca tak pula berhenti sampai halaman terakhir. Karena setelah halaman terakhir selesai, kami malah mendapat misi baru perihal peliknya kehidupan perpuisian. Watip dengan kelebihan sensitivitasnya, akan terus mengeksplor pengalamannya dan terus mengamati dinamisnya persoalan di dunia ini. Juga saya, tentu akan menjaga rasa yang telah muncul dari Museum Hujan dan terus menimbangnya. Karena jangan-jangan apa yang tidak saya pahami hari ini mungkin baru akan terlihat titik cerahnya di masa yang akan datang.

Hingga dari hal-hal barusan kita dapat mengambil rentetan benang merah yang panjang. Bahwa apabila terdapat seseorang membukukan puisinya bukan berarti ia sekadar mengumpulkan sekian banyak tulisan tanpa memiliki kesan perenungan yang mendalam. Karena sepatutnya, ketika sekumpulan puisi telah dibukukan, berarti yang ada di dalam buku tersebut adalah himpunan pengalaman dari sang penyair yang sepatutnya sangat kaya. Yang pada awalnya ia memadatkan pengalamannya menjadi sebuah puisi, hingga kemudian puisi-puisi yang ada dipadatkan lagi menjadi sebuah buku. Dari proses panjang itulah kemudian kita, sebagai pembaca, bisa melihat kerja keras sang penyair dalam memandang, memikirkan, serta memaknai kehidupannya. Dan proses yang melelahkan itu ternyata telah dilalui Watip bersama Museum Hujan-nya dengan begitu memesona.

sumber foto: Stomata

*tulisan ini pernah dipublikasikan saat bedah buku Museum Hujan di milad Komunitas Stomata yang ke-2, awal Oktober 2015 silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar