Naskah drama Citra pertama kali diterbitkan tahun 1943 oleh Balai Pustaka – penerbit yang masih disegani pada masa itu. Usmar Ismail adalah tokoh kreatif yang melahirkan Citra di era kepemimpinan Jepang tersebut. Dengan segala persoalan sosial-politik yang terjadi kala itu, seniman harus mengolah karyanya sedemikian rupa agar dapat berterima. Tidak hanya untuk pembaca, melainkan pula terhadap sistem yang secara tidak langsung telah dikendalikan Jepang. Segala yang dihadirkan Citra seolah menjadi pergolakan yang demikian kompleks adanya. Mulai sejak pertama kali penulis menuangkan gagasannya sampai pada persoalan pembaca untuk memahami karya tersebut.
Drama Citra menceritakan tentang perbedaan pandangan antara kakak-adik Sutopo dan Harsono dalam berkelakuan. Sutopo merupakan tuan Pabrik Tenun Jawa Timur, sebuah perusahaan peninggalan almarhum Suryowinoto yang dikelola bersama sang ibu, Nyonya Suryowinoto. Harsono, yang diharapkan mampu memberi kontribusi terhadap pabrik, ternyata enggan untuk berurusan dengan mesin dan pekerjaan semacam itu. Sebagai anak yang pernah bergaul di kota, Harsono merasa takdir hidupnya bukan untuk melakukan hal demikian.
Terdapat tokoh sentral dalam cerita tersebut yang tak lain adalah Citra. Citra adalah anak pungut keluarga Suryowinoto yang kesehariannya membantu pekerjaan di pabrik. Sampai suatu kasus, terdapat persoalan cinta yang melibatkan kakak-adik Sutopo dan Harsono dengan Citra. Harsono, setelah pergi kawin dengan janda di kampungnya, ketahuan telah menghamili Citra. Dengan mempertimbangkan segala kemungkinan yang terjadi, kemudian Sutopo menjadi garda terdepan untuk memberi tanggung jawab. Itu dilakukannya setelah gagal menemukan Harsono di pelariannya. Walau pada akhir kisah, mereka berdua mendadak akur untuk menyenangkan Citra, terlihat pada perkataan Sutopo, “Tetapi akan kita bersihkan kini bersama-sama, mengikuti panggilannya.” Ibarat seperti titik balik, Sutopo dan Harsono menjadi “pejuang” di detik-detik terakhir. Ada sebuah pesan terselip sepertinya yang ingin ditunjukkan dari sebuah kompleksitas percintaan tersebut.
Pada zaman pergolakan penjajah, Jepang seolah datang bak ratu adil. Dengan tawaran-tawaran menggiurkannya terhadap bangsa Indonesia, Jepang begitu cepat mendapat simpati dari rakyat Indonesia. Persoalan itu tak terlepas dari propaganda-propaganda yang berhasil Jepang lakukan. Mulai dari iming-iming terhadap kemerdekaan bangsa Asia Raya, hingga kampanye 3A dengan anggapan Jepang sebagai pemimpin, pelindung, serta cahaya Asia. Pun sebagai alat propaganda yang mampu diberdayakan, seniman dan pekarya-perkarya lain adalah sebuah hal yang tentunya tak mungkin luput dari daya kelola sistem baru Jepang.
Itu terlihat dari bagaimana Jepang sengaja membentuk Sendenbu dengan seksi propagandanya. Usaha Jepang dalam melakukan propaganda ternyata tidak main-main. Selain itu, terbentuk pula Keimin Bunka Shidosho, atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Kantor Pusat Kebudayaan. Usmar Ismail, yang menjabat di Bagian Sandiwara, secara tidak langsung mempunyai kaitan erat dengan kesenian yang muncul pada zaman Jepang. Tentu apakah karya-karya jebolan Keimin Bunka Shidosho membawa sebuah kepentingan Jepang adalah hal yang kemudian perlu ditelisik lebih mendalam.
Dalam Citra beberapa kali terselip perkataan yang menunjukan ekspresi optimisme terhadap kedatangan Jepang. Bagaimana Usmar Ismail meramu konstruksi ceritanya agar bisa berterima dengan daya pikir Jepang, seperti yang tertuang melalui tokoh Sutopo, “Sekarang Pemerintah Balatentara memberi lagi kesempatan seluas-luasnya untuk bekerja terus. Zaman pembangunan sudah datang.” Tokoh Sutopo menganggap bahwa Jepang memang penyelamat, setelah berhasil menyingkirkan Belanda. Rezim Jepang baginya adalah zaman baru yang seolah menghadirkan sebuah titik cerah.
Persoalan-persoalan mengenai ‘zaman baru’, ‘manusia baru’, hingga ‘budaya baru’ menyelingi tiap-tiap adegan yang berkelok seputar urusan kehidupan di Pabrik Tenun Jawa Timur itu. Ada anggapan bahwa segala yang dilakukan pada masa itu sangat mungkin menghadirkan pembaharuan dengan muara baik. Walau masih ada beberapa pihak yang seolah ragu, bak tokoh Harsono yang sepertinya sulit memahami. Katanya, “Aku tidak bisa merasakan yang dikatakan orang zaman baru ini, semuanya merugikan aku saja.”
Walau demikian pada akhirnya Harsono pun tak dapat mengelak. Pasca kepergiannya ia tiba-tiba kembali pulang ke rumah keluarga Suryowinoto dan mengaku telah bergabung dengan Jibakutai, atau dalam drama tersebut disebut sebagai Barisan Jibaku. Perlu diketahui bahwa Barisan Jibaku adalah sebuah sistem bentukan Jepang yang tak lain bertujuan sama: memuluskan kepentingan Perang Asia Timur Raya. Barisan Jibaku merupakan kelompok yang berjuang dan rela mati untuk membela tanah airnya. Secara tidak langsung, tokoh Harsono kembali dalam keadaan yang telah terpengaruh dengan propaganda Jepang. Ia menganggap pembelaan tanah air adalah saluran yang pas untuk mengabdi. Menyucikan dirinya dari pergulatan kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Dan tokoh Citra, bagi saya adalah sebuah simbol yang sangat pas, dengan segala pergulatannya dalam cerita yang membuat setiap adegan menjadi lebih halus pemaknaannya. Citra membuat tokoh Sutopo dan Harsono memiliki landasan serta alasan yang logis untuk mengagung-agungkan Jepang. Bagaimana Usmar Ismail meramu persoalan batin, cinta, dan jarak dengan kenyataan membuat drama Citra menjadi sebuah enigma bagi pembacanya. Persoalan selanjutnya adalah apakah pembaca kemudian ikut terpengaruh terhadap semangat Jepang, atau jangan-jangan pembaca akan dibuat merenung oleh teka-teki yang sedemikian kompleksnya.
Sejatinya setiap teka-teki yang dihadirkan Citra menjadi bekal untuk pembacanya masing-masing. Mereka akan menanamnya di dalam otak untuk menjadi sarana berkontempelasi. Karena pertaruhan akan sebuah bangsa menjadi pergulatan penting saat itu. Posisinya hanya dua: menjadi pro Jepang atau beroposisi. Dan, sekiranya pergulatannya masih terus berlangsung dalam memahami hakikat terdalam dari drama Citra ini. Apakah Usmar Ismail menyajikannya sebagai sarana mempropagandakan semangat Jepang atau sebetulnya ia ingin mengingatkan kita untuk lebih kritis dalam memahami persoalan? Entahlah.
endingnya entahlah~
BalasHapusTugas saya hanya menggiring, bukan memvonis tafsirnya. :))
Hapusweh berat amat euy,
BalasHapustapi yang pasti cinta dan propaganda adalah suatu hal berkelanjutan sampai sekarang bagi kelas atas. Ini hanyalah permainan tinta diatas sungai mengalir.
Ehehe.
HapusBeratan mana sama Gajah Lampung? :))