Minggu, 15 Maret 2015

Bingung Mau Nulis Apa?

Tolonglah dirimu sendiri.

"Hidup adalah seni pengambilan keputusan.” Begitulah kata A.S. Laksana dalam blognya yang sering menyarankan penulis pemula, bahwa cara terbaik untuk menulis adalah dengan mengambil keputusan untuk menulis. Bukan merumitkannya dan melulu mempersoalkan kendala. Tapi itu kata seorang master, bukan? Yang ilmunya mungkin sudah melekat pada otak dan menurutnya enteng saja berkata demikian. Walau jika dipikir-pikir memang ada benarnya juga, namun tetap, menghasilkan tulisan tidak semata-mata seenteng itu menurut saya.

Itulah cara seorang penulis malas berdalih dan coba menghindar-hindar dari segala persoalan yang menyangkut-pautkan dirinya dengan dunia menulis. Toh, bisa menghasilkan tulisan seminggu sekali saja sudah cukup. Toh, jika bisa menulis cerpen sebulan sekali rasanya sudah oke, kan? Toh, seenggaknya dalam hidup ini saya sudah pernah menulis. Jadi untuk apa meluangkan waktu setiap hari untuk menulis?

Tapi seorang penulis yang ingin tulisannya menjadi hebat, dan kekal. Bahkan dikenal luas dan melegenda, layaknya karya-karya Shakespeare. Atau minimal bisa mengikuti jejak Pramoedya Ananta Toer, yang namanya mondar-mandir masuk nominasi calon peraih nobel, pasti memiliki target, usaha, dan pemikiran yang berbeda.

Jika menulis sudah dianggap sebagai suatu hal yang sangat berarti dalam hidup seseorang. Maka berhenti menulis merupakan sesuatu yang bisa dibilang sebagai kiamat kecil. Karena gangguannya kadang bisa membuat sang penulis menjadi tidak bisa tidur, sulit konsentrasi di kelas, bahkan mungkin membuat si penulis menjadi sering tersandung di jalan. Kebingungan dalam menulis tentu harus segera diakhiri, terlebih para penulis hebat pasti lahir dari tangan-tangan yang produktif. 

Yang pertama, perlu ditekankan bahwa menjadi produktif itu sangatlah penting. Dan yang kedua adalah mengupayakan agar poin pertama yang ditekankan barusan itu tak sebatas wacana. Karena jika penulis sudah mulai tidak produktif, akan banyak efek negatif yang bisa timbul setelahnya. Malas produktif berarti akan malas memunculkan karya, dan hal itu pasti akan membuat minat sang penulis menjadi menurun dalam menekuni dunia literasi setelahnya. Dan tentu, jika minat menurun, seseorang hanya bisa melamun tanpa melakukan apapun. Hal terparah dan paling mungkin terjadi adalah sang penulis akan ditolak calon mertua karena keahlian menulisnya tidak bisa dibuktikan lagi. Atau mungkin hanya dianggap bualan belaka ketika sang penulis datang melamar.

Maka dari itu, kunci dari semua ini adalah dengan memberantas segala kendala yang membuat seorang penulis menjadi tidak produktif. Dan masalah yang paling klasik muncul adalah sang penulis tidak menulis karena tidak tahu mau menulis apa. Ia bingung diterkam pikirannya sendiri.

Biasanya kebingungan dalam menulis itu muncul saat seorang penulis – terlebih pemula, dan hina, macam saya ini – selalu merasa ketakutan akan gagasan yang muncul dalam kepala. Sewaktu-waktu mungkin terpikirkan akan menulis tentang teman yang suka berlaku kasar terhadap adik kelasnya. Tulisan itu sebenarnya bisa-bisa saja muncul, namun karena kekhawatiran tulisan itu akan dibaca oleh sang teman, maka penulis menjadi urung mencurahkannya. Kemudian si penulis beralih ke ide lain, dan terus berketakutan seperti itu. Mungkin sesekali bisa ditemukan ide yang pas untuk dicurahkan. Tapi itu sangat jarang. Sebulan sekali sudah ada pun rasanya patut disyukuri.

Padahal, para penulis senior, yang sudah makan asam garam dunia kepenulisan sering kali menasehati dan memberi wejangan untuk tetap menulis. Ketakutan-ketakutan macam itu sebenarnya hanya ketakutan yang muncul dalam pikiran. Dan sesungguhnya mereka sering kali, bahkan tidak kenal lelah mengajak para penulis pemula untuk segera menulis. Menulislah, maka kau akan menjadi berani, katanya.

Wejangan yang cukup umum dari para penulis hebat untuk melawan kebuntuan dalam menulis adalah dengan memberi sedikit jarak dahulu dengan dunia kepenulisan lalu kemudian kembali mendekat dan setelahnya beraksi. Tapi kadang cara seperti itu tidak ampuh untuk beberapa penulis. Sebagian ada yang terus memberi jarak hingga kemudian menjauh dan menghilang. Memang ada pula yang kembali datang, namun sang penulis tidak datang bersama ide. Kebuntuan tetap kembali melandanya.

Cara-cara menjauhkan diri semacam itu memang menimbulkan resiko. Padahal untuk memunculkan ide sebenarnya sangatlah gampang. Lagi-lagi trik ini saya peroleh dari penulis yang sudah hebat dan dikenal luas namanya. Ide, yang biasa menjadi momok, terutama bagi penulis pemula sebetulnya sangatlah mudah untuk ditemukan. Ia bisa muncul dari lingkungan sekitar, kejadian-kejadian yang telah berlalu, atau bahkan mimpi yang diupayakan. Singkatnya, ide ada di sekitar kita. Jadi bukanlah suatu alasan bagi seorang penulis untuk mandek dalam mencurahkan hal.

Di sisi lain ada yang menganggap bahwa writer’s block itu hanyalah mitos, dan tentu sebuah mitos sejatinya tidak akan menganggu kehidupan seseorang dalam berkarya. Penulis yang berprinsip seperti itu, sebagian besar karyanya lahir begitu lancar, layaknya keran yang dibawahnya masih menyimpan air tanah yang melimpah. Namun kembali lagi, mitos tetaplah mitos, yang suatu saat mungkin saja menjadi kenyataan. Dan mungkin saja suatu saat air tanah yang ada dibawahnya itu akan habis dan setelahnya ia akan kekeringan. Kering ide.

Tapi setidaknya persoalan-persoalan yang menyulitkan seperti itu memang harus segera diberantas. Minimal dihadapi, dan setelahnya sang penulis baru akan mengetahui hasilnya. Menghindar dari sebuah persoalan, menurut saya malah hanya akan menimbulkan persoalan baru. Contoh kecilnya jika saya lari dari sebuah masalah, maka saya akan menjadi gelisah. Dan barang tentu, gelisah adalah sebuah permasalah baru yang saya timbulkan. Yang sebetulnya tidak saya inginkan.

Nah, berhubungan dengan gelisah. Ada cara lain untuk membuat segala kemandekan tulisan bisa segera hilang. Yang ini muncul dari seorang penulis hahahihi, yang karyanya selalu memuncaki rak best seller toko buku. Benar sekali, namanya Raditya Dika. Ia bilang bahwa sebenarnya tidak ada alasan bagi seseorang, yang terlebih ingin menjadi penulis, untuk berhenti menulis. Satu cara yang ia tawarkan kepada kita adalah dengan menuliskan sesuatu yang menggelisahkan.

Sesuatu yang menggelisahkan, menurutnya, akan begitu mudah tersalurkan karena itu begitu melekat di pikiran setiap orang. Selain itu, kegelisahan juga selalu mengganjal hati yang kadang malah membuat sang penulis akan begitu gregetan. Hal inilah yang pastinya membuat penulis menjadi terpacu untuk mencurahkannya. Nah, dengan menuliskannya tentu kita akan mampu mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Yang pertama, kita akan menjadi lebih produktif, dan yang kedua tentu segala perasaan yang mengganjal akan segera hilang. Trik tersebutlah yang akhirnya saya gunakan dalam merampungkan tulisan singkat ini.

"Kita dapat menulis kapan saja bila orang meninggalkan kita sendirian dan tidak mengganggu. Atau kita dapat menulis bila kita cukup kejam tentang soal ini. Tetapi jelas tulisan terbaik terjadi bila kita sedang jatuh cinta." -Ernest Hemingway

6 komentar:

  1. Kalau aku terkendala dengan menejemen waktu untuk menulis :( gimana yaaa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lagi-lagi kata A.S. Laksana, menulislah secepat dan seburuk mungkin di waktu-waktu yang ada. Saya kira kakak sudah paham maksud dari saran yang saya tulis ini. :))

      Hapus
  2. Menulis itu memang harus berani ya.
    Kadang penulis pemula suka tergantung mood.

    BalasHapus
  3. Cakep, Mas. Saya pun menyenangi petuah-petuah Paman Sulak soal mitos writer's block.
    Salam kenal, salam Sastra!

    BalasHapus