![]() |
Tolonglah dirimu sendiri. |
"Hidup adalah seni pengambilan keputusan.”
Begitulah kata A.S. Laksana dalam blognya yang sering
menyarankan penulis pemula, bahwa cara terbaik untuk menulis adalah
dengan mengambil keputusan untuk menulis. Bukan merumitkannya dan melulu
mempersoalkan kendala. Tapi itu kata seorang master, bukan? Yang
ilmunya mungkin sudah melekat pada otak dan menurutnya enteng saja berkata demikian. Walau jika dipikir-pikir memang ada benarnya juga,
namun tetap, menghasilkan tulisan tidak semata-mata seenteng itu menurut
saya.
Itulah cara seorang
penulis malas berdalih dan coba menghindar-hindar dari segala persoalan
yang menyangkut-pautkan dirinya dengan dunia menulis. Toh, bisa
menghasilkan tulisan seminggu sekali saja sudah cukup. Toh, jika bisa
menulis cerpen sebulan sekali rasanya sudah oke, kan? Toh, seenggaknya
dalam hidup ini saya sudah pernah menulis. Jadi untuk apa meluangkan
waktu setiap hari untuk menulis?
Tapi seorang penulis yang ingin tulisannya menjadi hebat, dan kekal. Bahkan dikenal luas dan melegenda, layaknya karya-karya Shakespeare. Atau minimal bisa mengikuti jejak Pramoedya Ananta Toer, yang namanya mondar-mandir masuk nominasi calon peraih nobel, pasti memiliki target, usaha, dan pemikiran yang berbeda.
Jika
menulis sudah dianggap sebagai suatu hal yang sangat berarti dalam
hidup seseorang. Maka berhenti menulis merupakan sesuatu yang bisa
dibilang sebagai kiamat kecil. Karena gangguannya kadang bisa membuat
sang penulis menjadi tidak bisa tidur, sulit konsentrasi di kelas,
bahkan mungkin membuat si penulis menjadi sering tersandung di jalan.
Kebingungan dalam menulis tentu harus segera diakhiri, terlebih para
penulis hebat pasti lahir dari tangan-tangan yang produktif.
Yang
pertama, perlu ditekankan bahwa menjadi produktif itu sangatlah
penting. Dan yang kedua adalah mengupayakan agar poin pertama yang
ditekankan barusan itu tak sebatas wacana. Karena jika penulis sudah
mulai tidak produktif, akan banyak efek negatif yang bisa
timbul setelahnya. Malas produktif berarti akan malas memunculkan
karya, dan hal itu pasti akan membuat minat sang penulis menjadi menurun
dalam menekuni dunia literasi setelahnya. Dan tentu, jika minat
menurun, seseorang hanya bisa melamun tanpa melakukan apapun. Hal
terparah dan paling mungkin terjadi adalah sang penulis akan ditolak
calon mertua karena keahlian menulisnya tidak bisa dibuktikan lagi. Atau
mungkin hanya dianggap bualan belaka ketika sang penulis datang
melamar.
Maka
dari itu, kunci dari semua ini adalah dengan memberantas segala kendala
yang membuat seorang penulis menjadi tidak produktif. Dan masalah yang
paling klasik muncul adalah sang penulis tidak menulis karena tidak tahu
mau menulis apa. Ia bingung diterkam pikirannya sendiri.
Biasanya
kebingungan dalam menulis itu muncul saat seorang penulis – terlebih
pemula, dan hina, macam saya ini – selalu merasa ketakutan akan gagasan
yang muncul dalam kepala. Sewaktu-waktu mungkin terpikirkan akan menulis
tentang teman yang suka berlaku kasar terhadap adik kelasnya. Tulisan
itu sebenarnya bisa-bisa saja muncul, namun karena kekhawatiran tulisan
itu akan dibaca oleh sang teman, maka penulis menjadi urung
mencurahkannya. Kemudian si penulis beralih ke ide lain, dan terus
berketakutan seperti itu. Mungkin sesekali bisa ditemukan ide yang pas
untuk dicurahkan. Tapi itu sangat jarang. Sebulan sekali sudah ada pun
rasanya patut disyukuri.
Padahal,
para penulis senior, yang sudah makan asam garam dunia kepenulisan
sering kali menasehati dan memberi wejangan untuk tetap menulis.
Ketakutan-ketakutan macam itu sebenarnya hanya ketakutan yang muncul
dalam pikiran. Dan sesungguhnya mereka sering kali, bahkan tidak kenal
lelah mengajak para penulis pemula untuk segera menulis. Menulislah,
maka kau akan menjadi berani, katanya.
Wejangan
yang cukup umum dari para penulis hebat untuk melawan kebuntuan dalam
menulis adalah dengan memberi sedikit jarak dahulu dengan dunia
kepenulisan lalu kemudian kembali mendekat dan setelahnya beraksi. Tapi
kadang cara seperti itu tidak ampuh untuk beberapa penulis. Sebagian ada
yang terus memberi jarak hingga kemudian menjauh dan menghilang. Memang
ada pula yang kembali datang, namun sang penulis tidak datang bersama
ide. Kebuntuan tetap kembali melandanya.
Cara-cara
menjauhkan diri semacam itu memang menimbulkan resiko. Padahal untuk
memunculkan ide sebenarnya sangatlah gampang. Lagi-lagi trik ini saya
peroleh dari penulis yang sudah hebat dan dikenal luas namanya. Ide,
yang biasa menjadi momok, terutama bagi penulis pemula sebetulnya
sangatlah mudah untuk ditemukan. Ia bisa muncul dari lingkungan sekitar,
kejadian-kejadian yang telah berlalu, atau bahkan mimpi yang
diupayakan. Singkatnya, ide ada di sekitar kita. Jadi bukanlah suatu
alasan bagi seorang penulis untuk mandek dalam mencurahkan hal.
Di sisi lain ada yang menganggap bahwa writer’s block
itu hanyalah mitos, dan tentu sebuah mitos sejatinya tidak akan
menganggu kehidupan seseorang dalam berkarya. Penulis yang berprinsip
seperti itu, sebagian besar karyanya lahir begitu lancar, layaknya keran
yang dibawahnya masih menyimpan air tanah yang melimpah. Namun kembali
lagi, mitos tetaplah mitos, yang suatu saat mungkin saja menjadi
kenyataan. Dan mungkin saja suatu saat air tanah yang ada dibawahnya itu
akan habis dan setelahnya ia akan kekeringan. Kering ide.
Tapi
setidaknya persoalan-persoalan yang menyulitkan seperti itu memang
harus segera diberantas. Minimal dihadapi, dan setelahnya sang penulis
baru akan mengetahui hasilnya. Menghindar dari sebuah persoalan, menurut
saya malah hanya akan menimbulkan persoalan baru. Contoh kecilnya jika
saya lari dari sebuah masalah, maka saya akan menjadi gelisah. Dan
barang tentu, gelisah adalah sebuah permasalah baru yang saya timbulkan.
Yang sebetulnya tidak saya inginkan.
Nah,
berhubungan dengan gelisah. Ada cara lain untuk membuat segala
kemandekan tulisan bisa segera hilang. Yang ini muncul dari seorang
penulis hahahihi, yang karyanya selalu memuncaki rak best seller
toko buku. Benar sekali, namanya Raditya Dika. Ia bilang bahwa
sebenarnya tidak ada alasan bagi seseorang, yang terlebih ingin menjadi
penulis, untuk berhenti menulis. Satu cara yang ia tawarkan kepada kita
adalah dengan menuliskan sesuatu yang menggelisahkan.
Sesuatu
yang menggelisahkan, menurutnya, akan begitu mudah tersalurkan karena
itu begitu melekat di pikiran setiap orang. Selain itu, kegelisahan juga
selalu mengganjal hati yang kadang malah membuat sang penulis akan
begitu gregetan. Hal inilah yang pastinya membuat penulis menjadi
terpacu untuk mencurahkannya. Nah, dengan menuliskannya tentu kita akan
mampu mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Yang pertama, kita akan
menjadi lebih produktif, dan yang kedua tentu segala perasaan yang
mengganjal akan segera hilang. Trik tersebutlah yang akhirnya saya
gunakan dalam merampungkan tulisan singkat ini.
"Kita
dapat menulis kapan saja bila orang meninggalkan kita sendirian dan
tidak mengganggu. Atau kita dapat menulis bila kita cukup kejam tentang
soal ini. Tetapi jelas tulisan terbaik terjadi bila kita sedang jatuh
cinta." -Ernest Hemingway
Kalau aku terkendala dengan menejemen waktu untuk menulis :( gimana yaaa?
BalasHapusLagi-lagi kata A.S. Laksana, menulislah secepat dan seburuk mungkin di waktu-waktu yang ada. Saya kira kakak sudah paham maksud dari saran yang saya tulis ini. :))
HapusMenulis itu memang harus berani ya.
BalasHapusKadang penulis pemula suka tergantung mood.
Betul, minimal berani melawan kemalasan dulu.
HapusCakep, Mas. Saya pun menyenangi petuah-petuah Paman Sulak soal mitos writer's block.
BalasHapusSalam kenal, salam Sastra!
Salam Sulak lovers kalau begitu.
HapusHehe.