Jumat, 16 Desember 2016

Hidup Bersama Hoax


Mulai bangun tidur hingga kembali terlelap kita digempur dengan berbagai narasi. Media massa menyiarkan pemberitaan setiap saat, orang-orang saling bercakap tiada henti, pun buku, pamflet, radio, televisi, brosur, iklan, dan selembaran lain yang kita temui di jalan menunjukan bahwa persebaran informasi terus bergulir tak kenal lelah. Terlebih di era internet saat ini, kecepatannya terkadang malah semakin memunculkan dilema: apakah kita mesti percaya dengan informasi ini atau sebaliknya?
Sudut pandang penafsiran yang dilematis seperti itu kerap berujung pada upaya mengamini beragam informasi hoax. Hoax bekerja dengan cara yang sebetulnya terpola, seperti upaya menceritakan suatu gambar antah berantah dengan peristiwa yang seolah merepresentasikan kejadian di gambar tersebut. Tentu kisah yang dipaparkan pun ditambah dengan berbagai kisah lain yang terkadang bersifat menyentuh perasaan, mengiba, fitnah, dan sebagainya. Selanjutnya, tinggal bagaimana upaya menghegemoninya dengan cara penyebaran yang sistematis pula. Entah berwujud spam di media sosial, peran para buzzer yang dibayar untuk menyebarkan kebohongan, serta memanfaatkan kelalaian netizen sendiri dalam mengkonsumsi media-media yang tersebar.

Kamis, 01 Desember 2016

Yang Kuliah, Lalu Berdiskusi

Diskusi buku kumpulan cerita Desas-desus Tentang Kencing Sembarangan
di ruang sekretariat Pusake Betawi UNJ bersama Irsyad Ridho, Niduparras Erlang,
Amar Ar-Risalah, dan Putera Sukindar.

Universitas sebagai tempat bergumulnya pemikiran mestilah jadi tempat paling ideal bagi siapapun pegiat akademis untuk berkembang. Bukan semata-mata lekas mengejar gelar, lalu lulus menjadi makelar. Namun lebih berupaya memanfaatkan ruang-ruang pemikiran semasa kuliah demi menajamkan penalaran. Siapapun yang menempa ilmu di universitas seyogyanya sadar akan fungsi dirinya bisa berada di sana. Mahasiswa, juga tentu mafhum bahwa persoalan dialektika tak melulu mesti hadir di ruang kelas.

Kamis, 24 November 2016

Jalan Literasi Kita


Sepopuler-populernya teks bacaan ialah teks yang dibaca oleh banyak orang. Tere Liye adalah contoh satu kasus yang paling segar belakangan ini, berkaitan dengan popularitas berbagai novelnya yang telah dikeluarkan. Sebagai seorang penulis, dirinya baru saja menerima penghargaan Writer of The Year 2016 dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Tentu, prestasi yang berbanding lurus dengan visi penerbit populer yang ingin bukunya terus laku. Tak begitu mempersoalkan aspek kualitas sebab aspek nilai penjualanlah yang menjadi patokan utama. Tere Liye adalah gambaran tepat dan sangat sesuai dengan jiwa literasi kita belakangan ini.
Di era pascamodern, popularisasi literasi memikili persoalan yang sedemikian pelik. Ia tak cukup dibicarakan sebatas agenda penyebaran slogan baca-tulis ke pelosok-pelosok wilayah. Dalam dunia yang batas-batasnya telah sedemikian bias, tabrakan-tabrakan antar kultur yang terus terjadi, hingga kemungkinan lain, tentu popularisasi literasi mesti dihubungan dengan berbagai aspek kehidupan. Belakangan, praktik industrialisasi sastra dan pergelutannya dengan berbagai budaya populer menjadi topik hangat untuk menyinggung semangat menyemarakkan tradisi baca-tulis yang mulai terlihat gamang.

Selasa, 21 Juni 2016

Jalan Lain ke Tulehu dan Agama Baru yang Bernama Sepak Bola


Konon, sastra tak bisa ditafsir seluas-luasnya tanpa melihat aspek sosial yang terkandung di dalamnya. Sastra, yang merupakan cerminan masyarakat, dengan begitu menjadi sebuah dokumen sosial yang sedikit-banyak merefleksikan lingkup kenyataan. Walau tentu ada batasan-batasan yang kemudian membedakan karya sastra dengan analisis ilmiah. Seperti yang dikatakan Sapardi Djoko Damono dalam Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, bahwa sastra menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Sangat berbanding terbalik dengan analisis ilmiah yang cenderung objektif, saklek, dan bermuara pada keseragaman.
Berlandaskan itu, novel Jalan Lain ke Tulehu karangan Zen R.S. menarik untuk ditelusuri secara lebih serius. Tujuannya tak lain agar membuat pembacaan menjadi jauh lebih menyenangkan nantinya. Dalam novel tersebut, besar kemungkinan pembaca disuguhkan peristiwa-peristiwa sosial yang belum tentu dapat terangkum dalam analisis ilmiah atau model karya sastra lain. Sebab meninjau tafsir kondisi sosial hasil kacamata pengarangnya langsung, pastilah membuat kenyataan yang dituliskan mau-tidak mau akan memiliki kesan subjektivitas tersendiri. Maka dari itu, Wellek dan Warren pun pernah mengatakan bahwa tidaklah jelas pengertiannya apabila sastra dikatakan benar-benar mencerminkan atau mengekspresikan kehidupan secara menyeluruh.
Cerita Jalan Lain ke Tulehu berkisah tentang Gentur, seorang wartawan dari Jakarta, yang terperangkap dalam konflik horizontal di Maluku. Berlatar konflik Ambon di tahun 1999, Gentur datang dengan penuh ketidakpastian. Selain mendalami konflik sebagai tugas utamanya meliput berita, Gentur juga terjebak sebagai pendatang di antara konflik desa Tulehu dan Waai. Tulehu, yang mengatasnamakan kelompok Islam, saling bertikai dengan Waai yang mengatasnamakan dirinya Nasrani. Hingga pada akhirnya Gentur bertemu Said dan menjadikan sepak bola sebagai lorong penyelesaian yang begitu esensial.

Sabtu, 11 Juni 2016

Menjadi Babi di Sepertiga Malam


Karyo berubah menjadi babi di sepertiga malam, saat di mana sebagian orang lain sedang bersujud dan memohon datangnya pundi-pundi materi. Ia gemar melakukan itu setelah dirinya terkena pemutusan hubungan kerja sepihak dari perusahaan otomotif di kawasan timur ibu kota. Karyo kesal mendapati dirinya diperlakukan semena-mena. Maka dari itu ia menjadi babi dan terus menyenangi kegiatan barunya itu sampai hari ini.
Mula-mula ia hanya perlu tidur beberapa jam agar kondisinya terjaga sampai dini hari tiba. Dengan begitu ia bisa menjadi babi yang lincah dan pergerakannya tak mungkin bisa dideteksi oleh siapapun. Karyo tinggal meringkuk di lantai dengan posisi kedua tangan di samping kuping serta bokong yang menjulang ke langit-langit. Setelahnya tinggal tugas sang istri, Sumidah, untuk menjaga pencahayaan di ruang ritual. Konon cahaya perlu tetap menyala agar sang babi mampu melihat dalam keadaan gelap sekalipun.
Ibarat babi kecil yang sedang kelaparan, Karyo berkelana dengan semangat berapi-api. Keempat kaki kecilnya, dengan tubuh hitam dekil, menelusuri jalan sampai pada perumahan mewah. Ketika menjajaki kakinya di depan pagar serta tembok yang menjulang tinggi, sang babi hanya perlu bergeser sedikit ke area yang dirasa strategis. Setelahnya ia tinggal menggesek-gesek bokongnya ke area strategis itu dan, tak berapa lama, sang babi sudah mampu menghimpun banyak uang pada kandung kemihnya.

Minggu, 08 Mei 2016

Dari Juragan Haji: Pemantik untuk Lebih Sadar

Melihat ulang Juragan Haji.

“Allah selalu mendengar. Allah tahu yang terbaik. Allah memberi hikmah pada setiap kejadian yang menimpa kita. Percayalah pada Allah. Bila kita berbuat baik, tak ada yang lebih indah selain surga.” Kutipan menyejukkan itu berasal dari cerpen Darahitam, sedikit dari sekian banyak cerita Helvy Tiana Rosa dalam buku kumpulan cerpen Juragan Haji. Tidak perlu diperdebatkan lagi sebetulnya dengan gaya penulisan Helvy yang sangat kental dengan unsur-unsur keislaman. Dan sejatinya hal tersebut malah menjadi poin ciri khas Helvy yang membedakannya dengan kebanyakan penulis lain. Itu semakin diperjelas sebab dirinya pun termasuk dalam 500 The Most Influental Muslims in The World. Sebuah penganugerahan tokoh muslim yang tidak main-main.
Juragan Haji merupakan kumpulan cerpen yang seharusnya sudah tidak asing lagi bagi para penikmat sastra. Dahulu, kumpulan cerpen ini sempat diterbitkan dengan judul Bukavu oleh penerbit Lingkar Pena Kreativa dan mendapat penghargaan hingga masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award 2008. Entah bermaksud apa atau mungkin dikarenakan banyaknya peminat, maka pada 2014 penerbit Gramedia Pustaka Utama kembali memunculkannya dengan judul Juragan Haji. Walau sebetulnya agak disayangkan karena kita mengetahui bahwa Helvy adalah sosok penulis produktif yang begitu dielu-elukan karyanya. 

Selasa, 08 Maret 2016

Ngobrol-ngobrol Ama Naked Poems: Otak Kotor atau Imajinasi Seksi

Puisi bisa menusuk walau itu tak akan membuatmu berdarah ketika membacanya. Ada puisi-puisi yang bisa membuat orang mengernyitkan dahi karena saking sulitnya menerka segala untaian yang dimunculkan. Beberapa puisi lain bahkan bisa membuat kita senyum-senyum sendiri. Pun terdapat puisi yang mampu membakar emosi sebab adanya kesamaan nasib sepenanggungan. Puisi bekerja dengan caranya masing-masing. Seolah tiap kepala akan mendapat hidayah yang berbeda ketika menyimaknya.

Kali ini dalam perjalanan menyimak dunia persilatan puisi yang ada, saya menemukan sebuah keunikan atau mungkin bisa dikatakan sebagai tawaran baru, terhadap pergaulan puisi di Indonesia. Tak muluk-muluk, kebanyakan puisinya berjalan begitu natural walau apa yang dibicarakan bagi sebagian besar orang tentu cukup tabu. Ia membicarakan perkara-perkara seksualitas melalui kacamata perempuan dengan begitu santainya.

Beruntung saya bisa mendapatkan beberapa waktunya untuk mau berbagai dengan siapapun yang menyukai seni, terkhusus sastra dengan puisi-puisi yang ada di dalamnya. Sebelum mengkhayati waktu obrol-obrol santai saya bersama orang ini, ada baiknya teman-teman membuka pikiran terlebih dahulu. Seperti mengikuti anjuran bijak di luar sana, coba kosongkan dulu bejananya. Saya merasa butuh kedewasaan dan pemahaman untuk menyimak gaya "perlawanan" yang dihadirkan Ama, penyair muda wanita, di hadapan kita semua ini.

Tentu setiap pemahaman akan suatu hal harus didahului oleh kerelaan untuk menjauhkan diri dari spekulasi prematur yang menggebu-gebu. Tak perlu panjang lebar lagi. Mari simak obrolan renyah-renyah saya bersama Ama Naked Poems. Perihal puisi dan segala hal yang mengelilinginya.